Oleh: Adib Achmadi
Suatu saat saya pernah berbincang santai di sebuah restoran Jogja dengan dua orang yang sudah ‘mentas’ hidupnya. Mungkin orang sekarang menyebut mereka itu sukses lantaran punya kedudukan dan penghasilan yang aduhai. Satu punya posisi dipuncak birokrasi dan satunya lagi di puncak bisnis swasta.
Dari mendengar obrolannya, kedua orang ini ternyata punya nasib yang sama di masa lalu: hidup susah. Bahkan mungkin dibanding orang masa itu mereka punya kehidupan sosial ekonomi di bawah rata-rata.
Cerita menarik yang saya tangkap dari pembicaraan keduanya, mereka sama sama punya ‘dendam’ pribadi, bahwa anak anak mereka tak boleh merasakan kesusahan sebagaimana yang pernah dialami orang tuanya.
Apa yang menjadi kebutuhan anaknya, utamanya untuk keperluan sekolah mereka cukupi. Tak ada lagi kesulitan bayar SPP. Tak ada lagi bersusah payah pergi sekolah. Tak ada lagi kesulitan beli buku diktat atau keinginan ikut bimbingan belajar. Pun tak ada hambatan memilih sekolah bermutu meski biaya selangit.
Pada saat yang sama, saya teringat ketika dalam perjalanan naik ojek di ibu kota. Saya sempat berbincang panjang lebar dengan bapak ojek. Di antaranya si bapak bertutur jika ia merelakan HP bagusnya buat anaknya lantaran si anak tak mau gunakan HP jadul.
Cerita lain yang berkesan dari bapak ojek adalah ketika anaknya tak mau diantar jemput sekolah lantaran motor bapaknya butut. Si bapak ojek hanya bisa merelakan ketika anaknya lebih memilih naik kendaraan online bersama kawan kawannya.
Dari kedua kisah di atas pikiran saya jadi melayang ke mana-mana dan bergelayut tanya, apakah cerita yang saya dapatkan itu adalah peristiwa umum atau kasuistis?
Serasa ada kecenderungan orang tua masa kini tak tahan hati anaknya dalam kesulitan. Orang tua sekarang baik yang berkecukupan atau pas-pasan, juga tidak tahan hati anaknya ‘ketinggalan’ dari kawan kawannya. Mereka berusaha mencukupkan kebutuhan anaknya sebagaimana yang dimiliki anak-anak lainnya.
Semoga saja perilaku orang tua sebagaimana cerita yang saya dengar di atas hanya kasuistis semata. Dalam arti bukan sebuah potret yang terjadi dalam masyarakat.
Namun bila hal itu adalah peristiwa umum, tentu ada yang patut dicemaskan dari generasi muda kita. Alasannya sederhana saja, kemudahan hidup cenderung tak mengasah karakter kepribadian. Kehidupan tak selalu berjalan seiring dengan yang kita mau sehingga menuntut daya tahan dan kreativitas untuk mengatasinya.
Dunia pendidikan kita dewasa ini juga tidak memberi ruang bagi upaya membangun karakter peserta didik. Pergulatan pendidikan cenderung lebih memberi porsi besar pada asupan nutrisi pengetahuan dan keterampilan. Bekal soft skill seperti leadership, teamwork dan pembentukan karakter kurang mendapatkan asupan secara proporsional.
Maka wajar jika evaluasi dari pengguna (dunia industri dan dunia usaha) terhadap lulusan dunia pendidikan salah satuhnya adalah tidak tahan terhadap tekanan kerja. Hal ini wajar saja, di satu sisi pengguna berusaha mengoptimalkan kemampuan karyawan baik yang sifatnya hard skill maupun soft skill dalam bentuk bermacam tantangan. Di sisi lain lulusan tak cukup mendapatkan bekal kesiapan mental untuk memiliki ketahanan terhadap berbagai tekanan.
Belum lagi berbagai tantangan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat yang menuntut ketahanan mental dan kreativitas yang memadai. Segala bentuk kemudahan yang mengarah pada zona nyaman cenderung membuat peserta didik dan generasi muda kita kurang punya kegigihan dan daya survivalitas yang tinggi atas berbagai masalah.