Zuhud terhadap dunia digital adalah zahida fiihi wa’anhu zuhdan wazahadatain yang berarti berpaling dari sesuatu, meninggalkan karena kehinaannya atau keburukannya.
BARISAN.CO – Saat ini dihadapkan dengan perkembangan teknologi informasi yang begitu masif, munculnya media sosial seolah menjadikan manusia sebagai obyek kebendaan. Hubungan antar manusia yang seharusnya saling mendekatkan, justru menjadi kebalikannya yakni menjauhkan.
Sehingga memunculkan obyek kebendaan pada diri seseorang, ia merasa enjoy dan nikmat di layar dari pada bertemu bertatap muka. Bahkan jika ada pertemuan tatap muka, ia seolah-olah juga tidak menghadirkan pertemuan pada dirinya.
Sepertinya obyek kebendaan ini menjadikan manusia menjadi materalism, obyek kebendaan ini bukan sekadar benda seperti handphone tapi juga diri manusia. Keduanya telah menjadi satu sebagai subyek materialism, bagaimana seseorang mampu memisahkan dirinya dengan obyek tersebut. Sehingga ada hubungan antara subyek dan obyek yang mampu melahirkan pola komunikasi yang efektif.
Oleh karena itu manusia saat ini perlu bersikap zuhud terhadap media sosial, memperlakukan media sosial bukan sebagai kubutuhan bendawi. Akan tetapi menjadikan media sosial sebagai sarana hubungan antara manusia, Tuhan dan alam.
Lantas apa itu zuhud media sosial? Zuhud secara bahasa memilik makna zahida fiihi wa’anhu zuhdan wazahadatain yang berarti berpaling dari sesuatu, meninggalkan karena kehinaannya atau keburukannya. Jika dikatakan zahida fi ad dunya artinya meninggalkan yang haram dari dunia itu karena siksaannya.
Jadi zuhud di era media sosial sekarang bukan semata-mata meninggalkan perangkat sosial tersebut, akan tetapi menjadikan obyek benda menjadi manusiawi. Mesin ataupun perangkat informasi seyogyanya juga dimanusiakan, bukan sekadar memanusia manusia tapi memanusiakan benda sebagai menifestasi hubungan hamba dengan ciptaan.
Berbicara zuhud seolah berhadapan dengan maqam dalam ilmu tasawuf, sebagai perwujudkan sikap dan perilaku yang mampu memberikan kesadaran kolektif antara hamba dengan Tuhannya. Pada ranah tasawuf manusia dibekali kekuatan bayani, burhani dan irfani yakni seseorang memiliki kekuatan indra, pikiran dan hati.
Zuhud terhadap dunia digital yakni upaya menjadikan indra kita tidak mengalami kerusakan, pikiran kita memiliki kesadaran dan hati kita senantiasa mengharapkan ridha Allah Swt. Jika pada ranah religiusitas seseorang yang menjalani laku spiritual, maka ia harus melakukan perjalanan yakni melalui suluk seperti sabar, syukur, ikhlas dan lain sebagainya.
Begitu juga zuhud terhadap dunia digital memperlakukan dengan penuh kesadaran, bahwa semua ini adalah sarana seorang hamba mengabdi kepada Tuhannya. Zuhud terhadap dunia digital tidak dimaknai sebagai posisi maqam dalam tasawuf, namun sikap zuhud adalah maqam dalam tasawuf.
Melalui sikap zuhud inilah, tidak menjadikan seseorang bersikap sekuler namun tetap menjalani hubungan antara obyek benda, manusia dan masyarakat. Jangan sampai perkembangan dunia media sosial yang bebas ini membuat hidup makin meresahkan, namun dapat dimaknai sebagai serpihan dari laku hidup.
وَالْعَصْرِ(1)إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ(2)إِلَّا الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al-Ashr, 1-3).