Scroll untuk baca artikel
Edukasi

Revolusi Mental, Belajar 3 Kedudukan Akhlak di Pesantren

Redaksi
×

Revolusi Mental, Belajar 3 Kedudukan Akhlak di Pesantren

Sebarkan artikel ini

Barisan.co – Era saat ini dihadapkan dengan tantangan untuk revolusi mental. Dalam artian bahwa ada perilaku dalam masyarakat yang mengindikasikan adanya kemunduran. Sehingga perlu adanya gerakan untuk kembali menjadi manusia seutuhnya, terutama perihal nilai akhlak, moral, dan budi pekerti.

Kemerosotan atau kemunduran ini ditandai dengan banyaknya kasus seperti korupsi, tindakan kriminal, dan perilaku kurang ramah terhadap alam. Bila perilaku semacam ini terus saja merambah di kalangan masyarakat. Maka sulit sekali untuk mewujudkan masyarakat beradab, yang terjadi bisa sebaliknya yakni masyarakat biadab.

Persoalan akhlak, moral, dan budi pekerti menghadapi tantangan serius di era global sekarang ini. Seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Tantangan moral di dunia yang jelas nyata, namun sekarang dihadapkan di dunia maya juga. Bahkan di kalangan dunia pendidikan dan pondok pesantren turut memiliki andil untuk senantiasa memberikan pendidikan akhlak yang baik.

Sebab akhlak memiliki kedudukan yang sangat penting. Hal inilah penekanan awal pembelajaran di pondok pesantren. Kedudukan akhlak di pondok pesantren sangat prioritas, mengatur beragam hal baik hubungan santri, ustadz dan kiai.

Pada dasarnya terdapat 3 (tiga) kedudukan akhlak di pondok pesantren. Kedudukan tersebut sebagaimana diuraikan Tamyiz Burhanuddin dalam bukunya Akhlak Pesantren Solusi Bagi Kerusakan Akhlak yakni:

1. Akhlak sebagai media menerima Nur Illahi

Pondok Pesantren merupakan sistem pendidikan teruta di Indonesia. Memiliki tata lingkungan dan karakteristik yang berbeda dengan pendidikan umum. Bahkan menjadi representasi masyarakat kecil.

Sehingga nilai akhlak sangat menjadi hal utama dan terutama yang ditekankan. Sebab di kalangan pesantren akhlak yang baik akan mudah mendapatkan ilmu. Sebab ilmu adalah nur Illahi sehingga dengan akhlak yang baik akan mudah menerimanya.

Sebagaimana Imam Al Ghazali mengggambarkan hati sebagai cermin dan maksiat sebagai kotoran yang menutupi kejernihannya. Semakin seseorang melakukan maksiat, berarti semakin banyak kotoran yang menutupi hatinya, sehingga hatinya menjadi gelap, tidak bisa melihat kebenarannya.

Sebagaimana Allah Swt berfirman dalam surat Al Muthaffifin ayat 14:

 “Sekali-kali tidak demikian, sebenarnya apa yang merka usahakan itulah yang menutupi hati mereka sendiri

Jika seseorang ingin mendapatkan cahaya pengetahuan dari Tuhan adalah tergantung dari akhlak seseorang itu sendiri. Apabila ia sering melakukan maksiat, akan sulit baginya untuk menerima cahaya  pengetahuan dari Tuhan, sebaliknya apabila ia mempunyai akhlak yang baik, maka mudah baginya menerima cahaya pengetahuan.

2. Akhlak sebagai sarana memperoleh ilmu manfaat

Al Ghazali dalam karyanya Ihya Ulumuddin menyampaikan bahwa orang yang mempunyai ilmu itu derajatnya lebih tinggi dari pada orang yang tidak berilmu. Jadi ilmu sangat penting untuk manusia.

Sebagaimana hadits:

طلب العلم فريضة على كل مسلم

Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap pribadi muslim

Begitupun juga terkait pentingnya ilmu, terutama ilmu yang bermanfaat. Sebagaimana dinukil dari kitab Ta’limul Muta’alim menjelaskan bahwa seorang pelajar tidak akan memperoleh kesuksesan ilmu dan tidak pula ilmunya dapat bermanfaat, selain jika mau mengagungkan gurunya. Ada dikatakan: “Dapatnya orang mencapai sesuatu hanya karena mengagungkan sesuatu itu, manusia tidak menjadi kafir lantaran maksiatnya, tapi jadi kafir lantaran “tidak” mengagungkan Allah”.

Kesuksesan seseorang dalam menuntut ilmu adalah dengan menghormati gurunya. Sedemikian besar pengaruh akhlak terhadap keberhasilan seseorang untuk dapat memperoleh ilmu yang manfat.