BARISAN.CO – Hari ini 97 tahun lalu, tepatnya 3 Maret 1924, umat Islam tidak lagi dinaungi khilafah dan tercerai berai menjadi lebih dari 50 negara dengan ditandainya runtuhnya Kekhalifahan Utsmani atau Kesultanan Turki Ustmani (Ottoman).
Kekhalifahan Islam yang pernah berjaya di Eropa dan menguasai dua per tiga dunia terjadi karena pengikisan kekuasaan perlahan dalam kaitannya dengan Eropa Barat, dan karena akhir negara Utsmaniyah akibat pemisahan Kekaisaran Utsmaniyah oleh mandat Liga Bangsa-Bangsa.
Hal ini bermula saat Sultan Abdul Hamid II yang mengemban amanah sejak 31 Agustus 1876 memimpin sebuah daulah yang luasnya membentang dari timur dan barat. Ia menghabiskan 33 tahun kekuasaannya sebagai khalifah dengan dikelilingi konspirasi, intrik, dan fitnah dari dalam negeri.
Sementara dari luar negeri, ada perang, revolusi, dan ancaman disintegrasi serta tuntutan berbagai perubahan yang senantiasa terjadi. Saat berkuasa, dia terpaksa menandatangani perjanjian Saint Stefanus, karena adanya tekanan dari negara-negara Eropa.
Para musuh Sang Sultan juga terus berusaha meminta bantuan para Syekhul Islam (sebuah lembaga ulama kenegaraan) saat itu, untuk menurunkan Sultan Abdul Hamid II dari jabatannya pada 27 April 1909 dan digantikan oleh khalifah Sultan Mehmed V Reshad.
Namun sayangnya Sultan Mehmed V tidak dapat memegang penuh kendali kekuasaan saat terjadinya Perang Dunia. Menjelang berakhirnya Perang Dunia, tepatnya 3 Juli 1918 Mehmed V Reshad wafat. Lalu kekalifahan digantikan Mehmed VI.
Mehmed VI yang ingin melanggengkan Dinasti Ottoman sekaligus menentang kekuatan nasionalis langsung membubarkan parlemen pada 21 Desember 1918.
Tak terima dengan keputusan itu, kelompok nasionalis Turki pada 23 April 1920 membentuk sebuah pemerintahan baru di Ankara, yaitu Majelis Agung Nasional Turki. Pemerintahan baru di bawah komando Mustafa Kemal Pasha (Atatürk).
1 November 1922, Majelis Agung Nasional Turki yang sudah memiliki kekuasaan luas mulai menghapuskan organisasi kesultanan. Mehmet VI pun diusir dari Istanbul ke tempat pengasingan di Malta.
Sebagai pengganti Mehmet VI, kelompok nasionalis menunjuk Abdul Mejid II sebagai khalifah yang dilantik pada 19 November 1922. Namun, sultan terakhir Utsmaniyah tersebut hanya sekadar sebagai simbol pemimpin umat Islam secara formalitas. Sementara pusat kekuasaan dan pemerintahan berada di tangan Majelis Agung Nasional.
Sejak itu, golongan elite pendukung kekhalifahan sudah tak punya kekuatan lagi. Upaya meyakinkan orang-orang Turki agar kekhalifahan kembali tegak direpresi dengan mudah oleh kubu nasionalis atas nama intervensi asing dan ancaman bagi keamanan nasional. Mustafa kemudian bergerak cepat untuk segera mengakhirinya.
Majelis Agung Nasional Turki kemudian mendeklarasikan berdirinya Republik Turki pada 29 Oktober 1923 dengan Ankara sebagai ibukotanya dan Mustafa Kamal Ataturk ditunjuk menjadi Presiden Turki pertama.
Kemenangan dalam serangkaian perang yang dipimpin Mustafa dianggap dirancang dengan baik untuk mengaburkan pandangan orang-orang Turki pada masa itu sehingga mereka yakin akan kepemimpinannya.
Hingga akhirnya pada 3 Maret 1924, Majelis Agung Nasional secara resmi menyatakan penghapusan Kekhalifahan. Turki menjadi negara sekuler karena alasan modernisasi Turki mengikut gaya Barat. []