Kedua, para pemilik bashirah yang lemah, yang pandangan mereka kepada cahaya ini seperti pandangan kelelawar ke bola matahari. Mereka mengikuti nenek moyang mereka. Agamanya adalah agama adat dan lingkungan tempat mereka berada.
Mereka inilah yang dimaksud oleh Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib dengan ucapannya, “Atau orang yang tunduk kepada kebenaran, tapi tidak punya bashirah untuk memilih kebenaran itu.”
Jika mereka ini tunduk kepada para pemilik bashirah tanpa ragu sama sekali, maka mereka ada di jalan keselamatan.
Ketiga, intisari alam, manusia istimewa. Mereka adalah para pemilik bashirah tajam yang menyaksikan nur (cahaya) yang terang ini. Mereka punya keyakinan dan bashirah terhadap keindahan dan kesempurnaan nur ini.
Seandainya lawan dari nur ini dipaparkan ke akal mereka, pasti mereka melihatnya seperti malam yang gelap gulita, hitam. Inilah inti perbedaan antara mereka dengan kelompok sebelumnya. Orang-orang (dari golongan kedua) itu mengikuti orang yang memimpin dan menemani mereka saja.
Seperti kata Ali bin Abi Thalib, “Mereka mengikuti setiap suara panggilan, menuruti semua teriakan orang. Mereka tidak bersuluh dengan cahaya ilmu, dan tidak bersandar ke tiang yang kokoh.”
Ini tanda orang yang tidak punya bashirah. Adapun orang dari kelompok ketiga ini, amal mereka berlandaskan bashirah.
Dengan perbedaan bashirah itulah kemuliaan mereka bertingkat-tingkat, seperti kata seorang salaf ketika menyinggung generasi silam, “Itu hanya karena mereka beramal dengan dasar bashirah.”
Seseorang tidak pernah mendapat karunia lebih afdhal dari bashirah (pengetahuan yang dalam) tentang agama Allah Swt, meski dia beramal sekedarnya.
Orang yang paling alim (berilmu) adalah yang paling tahu tentang kebenaran ketika orang-orang lain berbeda pendapat, meski amalannya sederhana saja.
Masing[-masing dari ketiga kelompok ini punya bagian-bagian lagi yang hanya Allah Swt yang dapat menghitung kadar derajat perbedaannya. [Lukni]