BERMULA dari obrolan ringan dengan seorang karib, Hasan Fuady, tentang kecenderungan minat baca dan diskusi yang kurang terawat di kalangan mahasiswa, terutama yang aktivis, lahirlah komunitas Klub Baca Profetik. Istilah “profetik” dipilih lebih karena kecenderungan minat kami saat itu pada Kuntowijoyo. Tokoh Muhammadiyah satu ini, lain dari pada yang lain. Kuntowijoyo, paling tidak buat kami, sosok komplet. Ia akademisi, sejarawan, budayawan, sastrawan, aktivis gerakan Muhammadiyah, kolumnis, dan entah apa lagi.
Namun, dari sekian tokoh-tokoh terkemuka negeri ini, sebut saja Goenawan Mohamad, Cak Nur, Kang Jalal, Gus Dur, dan yang lain, kiranya Kuntowijoyo yang kurang mendapat respon “wah”. Kuntowijoyo tidak punya “pasukan” yang melanjutkan gagasannya. Paling banter hanya kalangan muda (mahasiswa) Muhammadiyah yang masih mengapresiasi pemikiran Pak Kunto. Sementara ormas induknya, Muhammadiyah, tampak masih acuh tak acuh.
Padahal ide Kuntowijoyo termasuk genuine. Meski ia meminjam teori-teori Barat dalam menganalisa sesuatu, tapi ia tetap berpijak pada kondisi riil masyarakat Indonesia. Ia membagi zaman yang melingkari negeri ini dalam mitos, ideologi, dan ilmu. Dan kini seyogianya telah memasuki dan serius menggeluti ilmu.
Pak Kunto jauh-jauh hari mengingatkan perlunya umat Islam memiliki basis filsafat yang merupakan turunan dari grand teori Al-Qur’an dan Hadits. Ia menyebutnya Ilmu Sosial Profetik, sebagai basis umat Islam menjalani periode ilmu.
Karena orisinalitasnya, dan disertai basis teori yang matang, maka tak cendekiawan pun yang membantah analisis-analisisnya, yang ia tuang dalam pelbagai moda ungkap tulisan: esai, novel, cerpen, dan fabel. Praktis Pak Kunto termasuk tokoh yang tidak punya “musuh”. Ia disegani lantaran keluasan dan kematangan ilmunya. Analisisnya tajam atas perkembangan politik dan budaya tanah air.
Kami berkesimpulan, Kuntowijoyo patut disebut begawan Indonesia. Guru bangsa yang menomorsatukan integrasi nasional. Karena setiap lontaran kritisnya, selalu menghindari hal-hal yang berbau kontroversial. Ia menggunakan diksi yang bisa diterima semua kalangan. Ia benar-benar mengeliminasi ungkapan yang menuai konflik. Baginya, yang kontroversial itu tak mendidik masyarakat bawah, justru membingungkan dan tak mendewasakan.
Oleh karenanya, rasanya tidak ada alasan lagi buat kita untuk tidak turut menjaga dan syukur bisa melanjutkan proyek ilmiahnya. Paling tidak, kita luangkan waktu untuk serius membacai karya-karyanya. Pernah memang, beberapa kali kami—Klub Baca Profetik—serius menyelenggarakan Kelas Membaca Kuntowijoyo. Namun, sayang tak berlangsung lama, hanya empat atau lima pertemuan. Setelahnya bubar jalan.
Padahal saat itu saya “mencuri” metode Sigit Susanto, penulis asal Boja, Kendal yang tinggal di Swiss, untuk membaca teks-teks karya Kuntowijoyo. Buku pertama Kuntowijoyo yang dibaca berbarengan adalah Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Kami beranggapan, buku itu karya masterpiece Pak Kunto. Dengan metode Reading Group, kami belajar menghargai karya besar sejarawan kondang itu.
Namun, apa pun itu, segala upaya untuk merawat perjamuan ide, terutama pemikiran Kuntowijoyo, patutlah diupayakan, di tengah arus deras media sosial. Karya-karya sastranya yang bersifat profetik tidak hanya berkutat di lingkaran kecil akademisi dan mahasiswa. Substansi sastra profetiknya sedianya menyentuh banyak pihak, menjadi penghayatan banyak kalangan.
Ya, apa boleh buat, Kuntowijoyo sudah lama pulang ke pangkuan-Nya. Dan, kita tidak bisa lagi memintanya untuk mengajari umat menghayati Indonesia sebagai medan aktualisasi etika profetik. “Saya tidak pernah menyebut hasil sastra saya sebagai sastra Islam, tidak karena sastra saya bukan ibadah.” tulis Kuntowijoyo dalam Maklumat Sastra Profetik.