Scroll untuk baca artikel
Blog

Potret Evaluasi Pendidikan

Redaksi
×

Potret Evaluasi Pendidikan

Sebarkan artikel ini
Oleh: Adib Achmadi

Dalam suatu diskusi pendidikan, seorang pakar (narasumber) bercerita pengalaman sekolah waktu dulu. Dia pernah mendapatkan nilai 9 pada mata pelajaran seni suara padahal sedikitpun tak bisa menyanyi. Mengapa bisa begitu? Hal ini terjadi katanya, karena ujian seni suara tidak diukur berdasarkan kemampuan olah vokal, melainkan ditagih kemampuan teori menyanyi.

Latar belakang dari cerita di atas adalah pembahasan tentang evaluasi pembelajaran. Selama ini model evaluasi pembelajaran kita adalah mengukur kemampuan kognitif (pengetahuan). Pada evaluasi ini setiap pemberian materi mata pelajaran diukur keberhasilannya melalui uji pengetahuan.

Semua mata pelajaran polanya sama, menagih kemampuan kognitif siswa. Keberhasilan suatu evaluasi pembelajaran adalah penguasaan pengetahuan atas mata pelajaran yang sudah diberikan untuk kemudian ditagih kembali. Nilai evaluasi diberikan dalam bentuk angka angka dan ranking prestasi. Semakin tinggi angka yang didapat berarti semakin tinggi penguasaan materi pelajarannya dan itu artinya berhasil.

Seni suara atau menyanyi hanyalah salah satu contoh mata pelajaran yang dikonversi dalam bentuk pengetahuan. Hal ini juga berlaku pada mata pelajaran lain semisal agama. Evaluasi pelajaran agama tidak sampai mengukur perilaku keberagamaan (akhlak), melainkan kemampuan pengetahuan tentang agama.

Diskusi pendidikan itu jadi menarik lantaran ada pertanyaan bagaimana mengukur efektivitas kurikulum pendidikan nasional yang tujuannya seperti iman, taqwa, akhlak, sehat, karakter bangsa dan lain-lain? Sementara pengetahuan hanya satu aspek saja dalam tujuan pendidikan. Bukankah kurikulum adalah alat mencapai tujuan pendidikan? Bukankah keberhasilan pendidikan bila semua butir butir dalam tujuan tercapai?

Pakar pendidikan itu menjawab pragmatis saja. Evaluasi pendidikan dengan membuat ukuran kognitif (pengetahuan) itu cara mudah dan murah. Evaluasi yang sifatnya spiritual (ruhaniah) atau aspek akhlak (karakter kepribadian) perlu pembahasan yang lebih serius, mendalam, dan melibatkan banyak pihak. Saat ini yang digunakan adalah evaluasi yang sifatnya ‘ekonomis’ dan relatif mudah dilaksanakan.

Secara konseptual ide pendidikan dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional sudah diupayakan. Setidaknya Kurikulum K-13 telah mengupayakan pemenuhan target-target berbagai aspek seperti spiritual, aspek perilaku (akhlak), ketrampilan, dan lain-lain.

Namun, praktik di lapangan upaya itu masih relatif belum menemukan bentuknya utamanya dalam hal evaluasi. Ukuran berhasil dan tak berhasil serta lulus tak lulus ujian masih bertumpu pada formulasi ukuran kognitif. Ujian tengah semester atau ujian akhir semester maupun ujian nasional secara umum masih menggunakan acuan penguasaan pengetahuan (kognitif).

Pendidikan kita pada praktiknya memang belum cukup punya tradisi membangun kultur secara sistemik dan terukur pada aspek afektif, psikomotorik, spiritualitas, karakter kebangsaan, dan lain-lain. Itu mengapa banyak masyarakat masih merasakan kecemasan atas produk pendidikan terkait soal moral dan karakter yang berbasis pada agama dan kebudayaan. Suatu kecemasan yang wajar saja. []


Adib Achmadi, Praktisi pendidikan, tinggal di Slatri Brebes