Oleh: Syaiful Rozak
Seandainya para hakim pengadilan Tipikor membaca aspirasi masyarakat mengenai hukuman apakah yang paling pantas untuk koruptor? Barangkali pemberian hukuman mati akan masuk pada peringkat pertama, selebihnya adalah memiskinkan koruptor kemudian dihukum dengan seberat-beratnya.
Meskipun di dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi itu terdapat aturan yang mengatur tentang hukuman mati bagi koruptor, akan tetapi dalam praktiknya tampak sulit sekali untuk dilaksanakan. Sejak berdirinya KPK tahun 2002, belum ada satu pun koruptor yang di vonis dengan hukuman mati di Indonesia.
Adalah menjengkelkan jika mereka yang korupsi uang milyaran rupiah bukannya dihukum berat, justru malah dihukum dengan hukuman ringan. Sementara orang biasa yang hanya mencuri sendal jepit harus berurusan dengan hukum. Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), rata-rata hukuman pelaku korupsi sepanjang tahun 2019 itu hanya 2 tahun 7 bulan penjara.
Menurut Kurnia Ramadhana, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) dari 1.125 terdakwa kasus korupsi yang disidangkan pada 2019, 842 orang divonis ringan (0-4 tahun penjara) sedangkan yang divonis berat (di atas 10 tahun penjara) hanya 9 orang. Mereka yang divonis bebas atau lepas berjumlah 54 orang.
Jika hal tersebut dibiarkan begitu saja, masa depan pemberantasan korupsi akan suram. Kepercayaan masyarakat terhadap pengadilan akan turun dan bahayanya motivasi untuk melakukan korupsi akan semakin tinggi. Pemberian hukuman ringan terhadap koruptor tidak akan memberi efek jera bagi mereka yang melakukan korupsi.
Hal yang lebih memilukan adalah mereka yang sedang atau pernah tersandung kasus korupsi itu tidak malu ikut berkompetisi dalam pemilihan kepala daerah ataupun pemilihan legislatif. Bupati Jepara dan Bupati Kudus non aktif barangkali adalah contoh yang paling tepat untuk menggambarkan itu.
Keduanya terpilih kembali dalam pemilihan kepala daerah dan keduanya pula terkena OTT KPK. Bahkan yang lebih memilukan lagi adalah Bupati Gunung Mas, Kalimantan Tengah yang dilantik di dalam penjara karena kasus korupsi.
Kita patut bertanya, kenapa hal itu bisa terjadi. Pengadilan Tipikor seperti kurang serius dalam memberantas korupsi. Undang-undang Pilkada juga tidak menghalangi status tersangka dalam keikutsertaan dalam pemilihan kepala daerah. Kenapa orang yang jelas-jelas tersandung kasus korupsi diberi ruang untuk mencalonkan diri kembali sebagai kepala daerah, dan tidak ada aturan undang-undang yang mencegahnya untuk itu?
Tentu kita tidak bisa serta merta menyalahkan rakyat dalam memilih kepala daerah. Persepsi rakyat justru harus dilindungi agar tidak salah dalam memilih pemimpin. Dan salah satu usaha untuk melindungi persepsi masyarakat adalah dengan pencabutan hak politik bagi koruptor.
Pencabutan Hak Politik
Dalam pasal 10 dan 35 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat aturan yang mengatur hukuman tambahan berupa pencabutan hak memilih dan dipilih (pencabutan hak politik). Pemberlakuan pencabutan hak politik bagi koruptor ini telah menimbulkan pro dan kontra. Sebagian menerima, sebagian menolaknya.
Yang menolak beranggapan bahwa pencabutan hak politik itu bertentangan dengan HAM dan konstitusi, sedangkan yang mendukung beranggapan bahwa pencabutan hak politik adalah komitmen dalam memberantas korupsi. Pencabutan hak politik juga dinilai sejalan dengan salah satu tujuan hukum pidana, yaitu menciptakan efek jera bagi pelaku kejahatan dan orang lain yang melakukan kejahatan.
Penulis berpandangan bahwa pencabutan hak politik bagi koruptor itu harus, bahkan kalau perlu dijadikan standard KPK dalam memberantas korupsi. Nama-nama seperti Anas Urbaningrum, Luthfi Hasan Ishaaq, Ratu Atut Chosiyah, Zumi Zola, dan Setya Novanto adalah sederet politisi yang dicabut hak politiknya.