BARISAN.CO – Saya termasuk jenis manusia yang lambat paham. Saya tak segera mengerti ungkapan, “Keinginanmu untuk ber-tajrid, ketika Allah menempatkanmu dalam asbab, berasal dari syahwat yang samar. Dan, keinginanmu terhadap asbab, ketika Allah menempatkanmu dalam tajrid, merupakan kemunduran dari kehendak yang tinggi.”
Saya baca berulang kali untaian hikmah Syekh Ibnu ‘Athaillah itu. Baru kemudian, setelah mendapat terjemahan Kitab Al Hikam Al Athaiyyah: Syarh wa At Takhil, karya Dr. Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi, lumayan terang. Sehingga, baca terjemahan al-Hikam yang lain pun serasa dimudahkan. Mudah-mudahan keseluruhan kitab karya Syekh Said al-Buthi ini, tak selang lama, diterjemahkan semua ke dalam Bahasa Indonesia. Saat ini baru jilid pertama yang diterjemahkan. Dan setiap jilid, konon berhalaman sekitar 400-an. Padahal ada lima jilid.
Adalah dua kondisi yang dihadapi manusia. Pertama, manusia yang bingung di bawah kendali, yang mengharuskannya melakukan usaha lahiriah. Itulah kondisi asbab, usaha-usaha lahiriah. Dan, kedua, manusia terasing dari kondisi usaha-usaha lahiriah dan tidak menemukan jalan ke sana. Manusia jenis ini di tempatkan Allah untuk lepas dari usaha lahiriah. Itulah kondisi tajrid.
Nah, Syekh Muhammad Said Ramadhan mengamarkan, sedianya kita kaum beriman ini berusaha menjalankan perintah-Nya dengan memperhatikan kondisi di mana Tuhan menempatkan kita. Lebih jelas, sang syekh mencontohkan, sekira seorang pria menjadi tulang punggung keluarganya, dia punya istri dan beberapa anak, maka berarti Allah menempatkannya dalam kondisi asbab.
Tuhan menghendaki sang pria itu tidak hidup hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk keluarga. Memberikan kehidupan yang sejahtera untuk keluarga. Mendidik anak-anak, baik secara fisik, kejiwaan, dan intelektual.
Sehigga, kala si pria itu berpikir untuk berpaling dari usaha-usaha lahiriah, untuk menghidari kewajiban mencukupi keluarga, sama artinya ia berakhlak buruk. Berarti ia menuruti syahwatnya, meski samar. Ia mundur dari tekad yang luhur.
Kenapa samar? Bayangkan, sekira Allah berfirman, “Jalanmu merawat keluargamu dengan melakukan usaha-usaha lahiriah.” Jika kemudian sang pria membantah, “Tidak, aku pengin langsung mengetuk pintu-Mu saja,” sontak Allah menjawab, “Lupakan meloncat langsung mengetuk pintu-Ku! Jangan lari dari tanggungjawab! Tapi pergilah berdagang ke pasar! Pergilah bekerja! Karena itulah ladang ibadahmu.”
Lain cerita misal, sang pria belum memiliki tanggungan untuk mengurus istri, anak-anak, dan keluarga dekat, sedangkan ia berangkat dari keluarga mapan, maka pilihan Allah buat dia adalah mendalami agama, berkhidmat untuk syariat-Nya.
Ia menjalani laku tajrid. Sebaliknya, jika sang pria itu justru memilih untuk bermalas-malas karena sudah mapan, lebih memilih untuk hanya menghabiskan hidup dengan makan, minum, bermain-main, dan tidur, sembari menunggu ajal, berarti ia sekelas binatang. Berarti terjadi kemunduran dari kehendak menjadi manusia yang mulia.
Ulasan Syekh Zarruq menandaskan, “Allah menuntut darimu untuk berada di tempat yang Dia tetapkan hingga Dia sendirilah yang mengeluarkanmu sebagaimana Dia memasukkanmu. Hal yang penting bukanlah bagaimana kau meninggalkan asbab, melainkan bagaimana kau ditinggalkan oleh asbab.”
Karena nyatalah, begitu kita ditinggalkan asbab, berarti tidak lagi menetapi asbab, yang berarti pula semestinya kita bersyukur diposisikan dalam tajrid. Ingat, tajrid adalah keadaan seseorang yang meninggalkan asbab. Tajrid ialah meninggalkan semua hal yang menyibukkan anggota badan dan hati selain hanya untuk ketaatan dan mengingat Allah. Sebaliknya, asbab adalah keadaan seseorang yang melakukan berbagai upaya lahiriah untuk mencapai tujuan.