PEMULIHAN ekonomi Indonesia tengah berlangsung selama beberapa bulan terakhir menurut otoritas ekonomi. Dikemukakan berbagai indikator ekonomi yang membaik setelah terdampak pandemi. Secara kasat mata memang tampak ada geliat ekonomi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
Akan tetapi proses pemulihan ekonomi tersebut perlu diperiksa secara lebih cermat dan dianalisis prospek lebih lanjutnya. Gejala perbaikan dari indikator tertentu dapat saja bersifat sementara. Ada pula yang masih terlampau dini diklaim sebagai telah pulih.
Sekurangnya ada beberapa aspek dan indikatornya yang butuh asesmen lebih lanjut untuk menilai tingkat pemulihan dan prospeknya. Pertama, pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) riil. Narasi otoritas dan diskusi netizen tentang pemulihan didominasi indikator pertumbuhan ekonomi, yang sejatinya hanya pertumbuhan PDB riil. Disebut soalan angka yang telah kembali positif setelah sebelumnya sempat minus atau kontraksi.
Kurang banyak terungkap bahwa persentase pertumbuhan itu dihitung dari nilai PDB riil atau harga konstan. PDB riil mencerminkan banyaknya barang dan jasa yang diproduksi. Semestinya disebut pulih bukan saja setara dengan nilai sebelum pandemi, melainkan dengan “andai tak ada pandemi”.
Sebagai contoh, PDB riil tahun 2019 sebesar Rp10.949 triliun dan tahun 2020 sebesar Rp10.722 triliun. Nilainya berkurang dan persentase perubahannya biasa disebut pertumbuhan ekonomi sebesar minus 2,07%. Padahal selama lima tahun sebelumnya (2015-2019) laju pertumbuhan rata-rata sebesar 5,03%. Bahkan, rata-rata pada periode 2005-2014 mencapai 5,72%.
Untuk diklaim pulih seharusnya bukan mencapai nilai tahun 2019, melainkan memperhitungkan andai berlangsung pada lintasan pertumbuhan rata-ratanya. Sederhananya mengejar kehilangan nilai produksi barang dan jasa, akibat sempat kontraksi.
Dengan memakai rata-rata tumbuh 5% saja, maka PDB riil yang “pulih” adalah sebagai berikut: Rp12.072 triliun (2021). Rp12.675 triliun (2022), Rp13.309 triliun (2023), Rp13.974 triliun (2024), Rp14.673 triliun (2025), dan seterusnya.
Pemerintah membuat proyeksi pertumbuhan ekonomi sampai dengan 2025 berupa rentang as usual dan asumsi reform dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2022. Bisa dihitung nilai PDB riilnya. Ketika dibandingkan dengan andai tak ada pandemi tadi, proyeksi optimis berasumsi reformasi struktural pun masih belum pulih hingga tahun 2025.
Begitu pula dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi dan PDB riil Indonesia dari International Monetary Fund (IMF). Belum pulih hingga tahun 2026 jika memakai ukuran di atas. Bahkan, PDB riil 2021 diprakiraan IMF hanya sedikit di atas tahun 2019, yakni sebesar Rp11.065 triliun. Pada tahun 2019 sebesar Rp10.949 triliun, atau tumbuh 1,06% selama dua tahun.
Kedua, kondisi ketenagakerjaan. Jumlah pengangguran terbuka meningkat dari 7,10 juta orang (Agustus 2019) menjadi 9,77 juta orang (Agustus 2020). Hanya menurun menjadi 9,10 juta orang pada Agustus 2021. Tingkat pengangguran terbuka (TPT) naik dari 5,28% pada Agustus 2019 menjadi 7,07% pada Agustus 2020. Hanya menurun menjadi 6,49% pada Agustus 2021.
Proyeksi IMF atas TPT Indonesia akan mencapai 5,30% pada tahun 2025 atau masih sedikit lebih tinggi dibanding tahun 2019. Baru pada tahun 2026 mencapai 5,20%. Apalagi jika diperhitungkan laju penurunan rata-rata lima tahun terakhir sebelum pandemi, yang seharusnya berlanjut.
Masalah ketenagakerjaan yang serius bukan hanya pada TPT. Contohnya jumlah pekerja tidak penuh atau mereka yang bekerja di bawah 35 jam seminggu yang meningkat dari 36,54 juta orang (Agustus 2019) menjadi 46,43 juta orang (Agustus 2020). Dan masih meningkat menjadi 46,79 juta orang pada Agustus 2021.