MASYARAKAT masih banyak yang berpandangan bahwa “pintar” bersifat genetis. Merupakan bakat turunan dari orang tua atau pihak kakek neneknya. Saya tidak menolak sepenuhnya ada peran faktor turunan, namun berpendapat faktor pendidikan lebih penting dalam melahirkan anak pintar.
Banyak dikutip hasil penelitian yang menyatakan kapasitas otak manusia sebenarnya tidak pernah dipakai secara penuh. Dengan kata lain, andai faktor genetis hanya memberi kapasitas tertentu pada otak seorang anak, masih terbuka lebar kesempatan menjadikannya pintar. Proses belajar yang giat dan benar akan membuatnya mampu mengoptimalkan sebagian besar potensi dirinya.
Ada kisah yang merupakan bagian dari suatu penelitian lainnya terkait kapasitas otak manusia. Cerita tentang Tommy, anak keempat dari tuan dan nyonya Lunski, keluarga imigran Polandia di Amerika.
Tommy dilahirkan dengan kerusakan otak yang parah. Pada usia 2 tahun telah menjalani pemeriksaan neurofisiologis pada satu rumah sakit terkemuka di New Jersey. Tommy divonis tidak akan pernah bisa berjalan atau berbicara.
Kedua orangtuanya tidak mau menyerah begitu saja, dan mereka berkeliling ke banyak rumah sakit untuk mencari pendapat berbeda. Hingga akhirnya, mereka bertemu Dr. Eugene Spitz dan Dr. Doman di rumah sakit anak Philadelphia yang mampu memberi harapan. Ketika itu, Tommy berusia 3 tahun 2 minggu.
Kemampuan merayap dan merangkak Tommy terus diuji dan dilatih oleh kedua orang tuanya dibantu dan di bawah pengawasan kedua dokter itu. Begitu pula dengan kemampuan berbicaranya. Bahkan, mulai diajari membaca secara perlahan-lahan. Tommy distimulasi lewat pengenalan huruf, kata, dan bahkan buku-buku bacaan bayi.
Ketika berusia 4 tahun, ayahnya melaporkan Tommy telah lebih mudah membaca kata sederhana dari buku bayinya. Pada usia 4 tahun 2 bulan, sudah bisa membaca satu buku cerita. Beberapa bulan selanjutnya mampu membaca beberapa buku cerita.
Ketika berusia 5 tahun, dan dibuktikan pada kunjungan terapi yang ke 11 nya, Tommy sudah bisa membaca hampir segala bacaan. Bahkan, mampu membaca koran dengan cepat dan menampilkan ekspresi wajah yang relatif tepat.
Kisah tadi menginspirasi kita semua. Jika anak yang cedera otak saja dapat cakap membaca sebelum 5 tahun, maka tak terbayangkan seberapa besar potensi anak normal tanpa cedera otak. Bahkan, kemudian Tommy akhirnya mampu berjalan saat berusia 6 tahun. Tentu saja harus diingat peran kedua orang tuanya yang terus berupaya keras membantunya belajar.
Kisah berikutnya merupakan pengalaman Ira, anak pertama saya. Sejak semester dua kuliah jurusan Teknik kimia Institut Teknologi Bandung (ITB), Ira menjadi pengajar calon peserta olimpiade Kimia SMA di berbagai daerah. Kisahnya terjadi pada tahun 2013, tentang anak didiknya yang berhasil dengan upaya sangat gigih, bahkan ekstra keras.
Machlery Agung, anak yang dibantu Ira itu berasal dari keluarga yang tinggal di Palembang. Dia dimasukan orang tuanya pada salah satu pesantren di daerah sekitaran Solo. Anak ini sangat suka pelajaran sains dan ingin menjadi peserta Olimpiade sains. Kesulitan dialami karena di Pesantren, dia tidak bisa belajar lebih banyak dari yang diajarkan di sekolahnya.
Agung juga terkendala teknis tidak bisa ikut kompetisi untuk mengukur kemampuan ketika masih di pesantren. Ketika lulus dari pesantren setingkat SMP, dia diterima di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 3 Malang. Ketika sebelumnya gagal masuk MAN Insan Cendekia yang dikenal telah sering meloloskan siswanya ke olimpiade sains nasional.
Pertama kali mencoba lomba Kimia di kota Malang, dia berada di kelompok urutan terbawah. Beberapa bulan diadakan pembinaan di sekolahnya, hasil seleksinya membaik. Setelah mengajar secara cukup intensif, Ira mengetahui bahwa anak ini tampak lemah dalam ilmu matematika, apalagi dalam standar seorang peserta olimpiade.