Scroll untuk baca artikel
Blog

Rumah Para Petarung – Cerpen Eko Tunas

Redaksi
×

Rumah Para Petarung – Cerpen Eko Tunas

Sebarkan artikel ini

ALAM beruluk salam. Ia mengucapkan salam sambil membuka kunci pintu rumahnya. Sekali lagi bersalam, setelah menutup dan mengunci pintu dari dalam.

Wajahnya mencoba seriang dulu. Seperti berusaha tidak ada yang berubah di dalam rumahnya. Inilah keadaan saat rumah besar atau kecil sama saja. Rumah gubug atau gedongan tetap namanya rumah.

Karena rumah baginya adalah ruang pertemuan sampai pada kemungkinan yang paling tidak mungkin. Bahkan kota bukan kumpulan rumah-rumah, sebagaimana hutan bukan kumpulan pohon-pohon. Hutan, rumah, kota, adalah tempat bertemunya segala yang hidup. Dan ia musti bersalam.


Begitulah setiap ia pulang terlambat. Tak ada penyesalan pada tawa lebarnya. Semua sudah ada dalam kesepakatan. Pekerjaannya lebih berat dari tugas-tugas sebelumnya. Pintu-pintu mafum itu, semua baik-baik saja. Tawa lebar anak-anaknya selalu berlintasan.

Bersama lukisan-lukisan di dinding, dan gebukan dram di studio musik. Dan ajaib, senyum isterinya menempel di setiap dinding, melenting-lenting di seluruh ruang dingin air condition. Di ruang tamu dengan perabot raksasa bertaring antik.

Di ruang keluarga yang diseliweri robot-robot serdadu. Di kamar anak-anaknya yang dipenuhi bendera superpower atau poster-poster adidaya, di kamar gencatan senjata persuami-isterian. Di studio musiknya, yang tak diduga jenis kelaminnya.


Ya, si tuan muda bungsu memang bercita-cita menjadi anak band, dan ia musti memfasilitasi sekaligus mengajari dan mengundang guru prifat. Setiap saat terdengar sayup-sayup bergedebam suara gedombrengan yang ia biarkan hampir tak mengenal waktu.

Hanya si bibir yang sesekali mengatasi bising setiap pintu studio membuka dan menutup, dan si tuan muda wira-wiri ke ruang makan atau dapur atau kamarmandi.

Setiap pintu studio terbuka dan tertutup itu, seperti ada tirai tipis antara dunia di dalam dan dunia diluar diri Si Anak. Meski ia tetap menyimpan jiwa anak dari sekadar senyuman.

Celoteh bibir nyaris rutin merobot: Hidup sudah bising! Harga-harga naik, jalanan macet, teriakan tetangga kurang minyak… Masih juga bikin bising..!
Untuk itu ia punya cara sendiri untuk mengatasi, selalu di meja makan.

Dia bertanya pada anak bungsunya, “selepas SMA kamu mau masuk perguruan tunggi mana?”Jawab anaknya, “mana saja yang penting kuliah.”
“Jurusan apa yang kamu minati?”
“Yang penting tidak sama dengan Ayah.”
“Kenapa?”
“Karena saya tidak mau jadi seperti Ayah.”
“Kenapa tidak mau seperti Ayah.”
“Nggak apa-apa,” sahut anaknya, “harus beda saja…”
“Okelah kalau begitu.”

Betapapun ia bangga dengan sikap anaknya, justru karena anaknya punya keinginan beda dengan dirinya. Kalau sama repot juga, apalagi kesamaan dalam hal-hal yang pribadi dan rahasia karena sifat kelakiannya.