Pada 9 April 2001, Keppres No. 9/2001 dikeluarkan, yang menandakan Gus Dur meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif.
BARISAN.CO – Tahun ini, perayaan Imlek atau Tahun Baru China akan jatuh pada 1 Februari. Di Indonesia, perayaan Imlek adalah salah satu bentuk kebebasan. Di era kekinian, setiap etnis China di Nusantara berhak merayakan Imlek dengan semarak dan penuh suka cita.
Dalam budaya China, Warna merah dalam perayaan Tahun Baru Imlek sudah digunakan secara turun-temurun. Sebagaimana dijelaskan dalam prestigeonline.com, masyarakat China menganggap warna merah merupakan warna yang mendatangkan keberuntungan.
Merah adalah warna tradisional yang berasal dari Han, kelompok etnis dominan di Tiongkok, yang melambangkan keberuntungan, vitalitas, perayaan, dan kemakmuran.
Melansir dari scmp.com, orang-orang merapikan rumah dan kantor dengan lentera merah, spanduk, dan potongan kertas. Amplop merah atau yang terkenal dengan nama angpao, berisi uang diberikan kepada anak-anak dan orang tua.
Selain warna merah, dalam perayaan Tahun Baru Imlek seringkali ditemukan warna-warna lain, seperti kuning dan hijau. Warna-warna ini berasal dari Teori Lima Elemen Cina, dengan merah mewakili ‘api’, kuning menunjukkan ‘tanah’, hijau atau biru menandakan ‘kayu’, putih melambangkan ‘logam’, dan hitam menunjukkan ‘air’.
Dilarang di Era Order Baru
Imlek di Indonesia memiliki sejarah yang cukup panjang, yakni Presiden Soeharto pernah melarang keras peraytaan Imlek. Soeharto pernah mengamanahkan 21 peraturan perundang-undangan yang dibuat setelah memperoleh Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Peraturan itu tertuang dalam Inpres Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China.
Melalui Inpres tersebut, Soeharto memerintahkan menteri agama, menteri dalam negeri, dan seluruh pemerintah pusat maupun daerah untuk menerapkan peraturan tersebut. Berdasarkan Isi dari Inpres tersebut, yakni pelaksanaan Imlek dilakukan secara internal dalam hubungan keluarga atau perseorangan.
Kemudian, perayaan pesta agama dan adat istiadat China dilakukan secara tidak mencolok di depan umum, melainkan dilakukan dalam lingkungan keluarga. Aturan ini membuat aktivitas warga Tionghoa dibatasi selama perayaan Imlek.
Akibat Inpres itu, perayaan Imlek tak digelar secara terbuka atau di depan publik. Selain itu usai merayakan Imlek, Cap Go Meh, barongsai, dan liang liong dilarang dirayakan secara terbuka.
Bahkan, huruf atau lagu Mandarin tak boleh dikumandangkan di radio, sehingga perayaan tersebut digelar sembunyi-sembunyi selama 32 tahun Soeharto memimpin. Tidak hanya soal aturan, Inpres tersebut juga mengganti istilah “Tionghoa” menjadi “China”, dengan tujuan upaya dalam proses asimilasi etnis.
Hal itu berubah sejak pasca-Reformasi, aturan tersebut mulai memudar lantaran memasuki era Presiden Habibie. Ia menerbitkan Inpres Nomor 26 Tahun 1998 yang membatalkan aturan-aturan diskriminatif terhadap komunitas Tionghoa.
Gus Dur Cabut Larangan Perayaan Imlek
Dalam Inpres tersebut, mengatur penggunaan istilah pribumi dan nonpribumi dalam penyelenggaraan pemerintahan menjadi dihentikan. Masuk di era Presiden RI ke-4, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) jadi “juru selamat” yang melanggengkan perayaan imlek, setidaknya sampai hari ini.
Keputusan Gus Dur mencabut Inpres Nomor 14 tahun 1967 dengan mengeluarkan Keppres nomor 6 tahun 2000 yang membatalkan aturan-aturan diskriminatif terhadap komunitas Tionghoa.
Selanjutnya pada 24 Januari 2001, untuk pertama kalinya Tahun Baru Imlek menjadi hari libur di Indonesia. Hal tersebut berdasarkan dua Keputusan Menteri Agama, masing-masing No. 13 Tahun 2001 tentang Imlek Sebagai Hari Libur Fakultatif dan No. 14 Tahun 2001 tentang Hari Libur Fakultatif Imlek Tahun 2001. Pada 9 April 2001, Keppres No. 9/2001 dikeluarkan, yang menandakan Gus Dur meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif.