Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Kesombongan dan Keangkuhan

Redaksi
×

Kesombongan dan Keangkuhan

Sebarkan artikel ini

Kesombongan dari akar kata sombong adalah sikap merasa dirinya paling unggul dan memuji diri sendiri. Oleh karena itu menurut Kitab Al-Hikam hendaknya seseorang menanamkan kerendahan

BARISAN.CO – Sepertinya perlu bimbingan khusus untuk melawan kesombongan, sebab rasa sombong senantiasa melekat pada diri seseorang. Kesombongan akan muncul ketika seseorang merasa dirinya unggul, merasa dirinya paling hebat dan paling tinggi.

Sedangkan arti sombong dalam bahasa Inggris disebut pride, menurut bahasa Latin superbia, sedangkan dalam bahasa arab fakhar, takabur. Jadi kesombongan secara terminologis adalah sikap atau tingkah laku yang cenderung memandang diri lebih hebat, merasa memiliki kebesaran dan cenderung memuji diri sendiri.

Dalam kitab Al-Hikam karya Ibnu Attaillah, dalam maqolahnya bagaimana meredam kesombongan yakni dengan meletakan diri seseorang dalam kerendahan:

اِدْفن وُجُودَك فى ارضِ الخُمول. فما نبتَ مِمَّالم يُدفن لايتِمُّ نِتاجهُ

“Tanamlah dirimu dalam tanah kerendahan, sebab tiap sesuatu yang tumbuh namun tidak ditanam, maka tidak sempurna hasil buahnya.”

Secara bahasa al-humuul artinya adalah lemah, bodoh, tidak dikenal. Sedangkan dalam pasal 11 ini bermakna “kerendahan.” Sementara wujud atau eksistensi manusia pada dasarnya ingin diakui, dikenal, ingin terpandang. Menurut istilah psikologi, manusia diatur oleh ego yang ada dalam dirinya.

Bersuluk pada dasarnya adalah proses menumbuhkan jiwa. Adapun jiwa bagaikan pohon yang tumbuh, jiwa harus ditanam dan dirawat agar dapat tumbuh dan berbuah dengan sempurna. Sebagaimana Allah Swt berfirman:

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِى ٱلسَّمَآءِ

تُؤْتِىٓ أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍۭ بِإِذْنِ رَبِّهَا ۗ وَيَضْرِبُ ٱللَّهُ ٱلْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ

“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.” (QS. Ibrahim: 24-25)

Kita tidak akan mampu mengenal siapa diri kita, buah takwa apa yang harus kita hasilkan, kecuali Allah Swt memberi petunjuk dan perlindungan. Selama ini, ego diri kita yang mengatur siapa diri kita dan apa yang kita inginkan sementara Allah Swt yang lebih mengetahui diri kita yang sesungguhnya.

Dalam pasal kerendahan dan kesombongan, Ibnu Atha’illah mengungkapkan sebuah kunci agar kita dapat menghasilkan buah takwa yang sempurna. Yakni dengan mengubur eksistensi diri atau ego dalam bumi ketiadaan.

Tidak ada sesuatu yang lebih berbahaya bagi seorang yang beramal, dari pada menginginkan kedudukan dan terkenal di tengah-tengah masyarakat. Hal ini termasuk keinginan hawa nafsu yang utama.

Inilah kunci agar dapat menghasilkan buah takwa yang sempurna, yang dengan itu bisa mengantarkan seseorang masuk surga. Ibnu Atha’illah menceritakan kisah seorang budak hitam yang akan menjadi raja di surga.

Dikisahkan, dari Abu Hurairah ra berkata; Ketika kami di majelis Rasulullah Saw, tiba-tiba Nabi Muhammad Saw bersabda: “Besok pagi akan ada seorang ahli surga yang salat bersama kamu.”

Abu Hurairah berkata: “Aku berharap semoga akulah orang yang ditunjuk oleh Rasulullah Saw itu. Maka pagi-pagi aku salat di belakang Rasulullah Saw dan tetap tinggal di majelis setelah orang-orang pulang.”

Tiba-tiba ada seorang budak hitam berpakaian compang-camping datang menjabat tangan Rasulullah Saw sambil berkata: “Wahai Nabi Allah! Doakan semoga aku mati syahid.”

Maka Rasulullah Saw berdoa, sedang kami mencium bau kasturi dari badannya.

Kemudian aku bertanya: “Apakah orang itu wahai Rasulullah?”