BARISAN.CO – Permodalan masih menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi BPR. Dengan dikeluarkannya POJK No.5/POJK.03/2015, maka BPR diwajibkan memenuhi modal inti minimum sebesar Rp.6 miliar sampai batas akhir 31 Desember 2024. Sayangnya, masih banyak BPR yang modal intinya masih di bawah Rp.6 miliar.
Berdasarkan data Infobank Institute, darii 1.631 BPR yang terdiri dari 1.467 BPR dan 164 BPRS masih ada 501 atau sekitar 30,7% dari total BPR yang modal intinya masih di bawah Rp.6 miliar, per Januari 2022.
Tidak seperti bank umum yang diizinkan menerima kucuran dana dari investor asing melalui sistem kemitraan, sebagaimana Pasal 22 UU Perbankan. BPR berdasarkan UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan hanya boleh didirikan dan dipunyai oleh WNI.
Oleh karena itu, BPR kesulitan memperoleh permodalan dari mitra strategis.
Peluang BPR Melantai di Pasar Modal
Mencuat wacana amandemen UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan, supaya BPR memiliki hak yang sama dalam memperoleh pendanaan seperti bank umum. Apalagi, tidak semua dari pemegang saham BPR mempunyai kemampuan untuk menambah modal. Maka itu, terbuka peluang BPR untuk melantai di pasar modal agar memperoleh pendanaan dengan skema go public.
Dukungan untuk mengamandemen UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan juga datang dari DPR RI. Dalam seminar Potensi dan Peluang BPR Go Public dan Go Digital yang digelar The Finance dan Perbarindo, pada Jumat (17/6) lalu, Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PDIP, Musthofa mengatakan, “kami di Panja DPR siap mendukung dan men-support penuh langkah-langkah ke arah itu, termasuk usulan amandemen UU Perbankan, UU BI, UU OJK, dan UU LPS.”
Menurut Musthofa, skema go public dapat menjadi solusi permodalan industri BPR. Apalagi, di matanya, peran BPR tidaklah boleh dipandang sebelah mata. Sebab, BPR memiliki peran yang sama pentinganya seperti bank umum, yakni sebagai lembaga intermediasi keuangan. Terlebih, BPR adalah ujung tombak yang bersentuhan langsung dengan industri UMKM.
Berdasarkan data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), terdapat 14.515.423 rekening BPR/BPRS yang dijamin LPS atau sekitar 99,98% dari total rekening BPR/BPRS. Melihat potensi itu, LPS juga memberikan lampu hijau untuk BPR go public. Mengutip dari laman LPS, Anggota Dewan Komisioner LPS, Didik Madiyono berharap dengan skema go public akan menguatkan permodalan BPR, dan meningkatkan efisiensi dan profitabilitas serta good corporate governance (GCG).
Sementara itu, wacana go public atau initial public offering (IPO) sangatlah ditunggu-tunggu oleh industri BPR. Ketua Umum Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo), Joko Suyanto melihat ada sejumlah keuntungan yang diperoleh BPR apabila go public.
Mulai dari meningkatkan nilai perusahaan, kesempatan memperoleh insentif pajak, meningkatkan market awareness, terbukanya akses pendanaan baru, meningkatkan GCG, sampai menumbuhkan loyalitas karyawan.
Namun demikian, di samping keuntungan itu, Joko menyadari ada tantangan-tantangan yang harus dihadapi BPR untuk mendapatkan keuntungan itu. Diantaranya adalah market pressure, regulasi, biaya-biaya yang terkait dengan pasar modal, kontrol atas kepemilikan, delusi, dan transparansi serta pelaporan harus dilakukan secara profesional. [rif]