Scroll untuk baca artikel
Edukasi

Teori Budaya Kemiskinan, Kritik Kaum Marxis dan ‘Manfaat Kaum Miskin’

Redaksi
×

Teori Budaya Kemiskinan, Kritik Kaum Marxis dan ‘Manfaat Kaum Miskin’

Sebarkan artikel ini

Pendukung teori ini percaya, nilai-nilai orang dalam kemiskinan itu diturunkan dari generasi ke generasi, menyebabkan setiap cabang baru keluarga melanjutkan siklus kemiskinan.

BARISAN.CO – Orang miskin ada dimana-mana termasuk di negara maju, seperti Amerika. Namun, keadaan mereka sering disalahartikan.

Sosiolog, Herbert Spencer misalnya, menganggap, orang miskin itu malas dan mereka yang tidak mau bekerja tidak boleh bekerja. Dia mengaitkan kemiskinan dengan karakter moral yang buruk. Dia bahkan menilai, negara harus campur tangan sesedikit mungkin.

Sementara itu, antropolog Oscar Lewis, yang mempelajari keluarga miskin di Meksiko dan Puerto Rico, menghasilkan salah satu tulisan paling awal tentang budaya kemiskinan pada akhir 1950-an. Dia tertarik menjelaskan apa yang dilihatnya sebagai nilai-nilai budaya tertentu dan menjadi ciri orang miskin.

Dalam tulisannya, Oscar menciptakan istilah budaya kemiskinan (the culture of poverty). Dia mendefinisikan, orang yang lahir dalam kondisi tersebut menginternalisasi nilai-nilai budaya yang menyebabkan mereka melanjutkan dan mewariskannya kepada generasi baru.

Dia juga mengklaim, orang-orang itu tidak memiliki cukup pengetahuan tentang sejarah sebagai panduan untuk membuat keputusan yang lebih baik untuk masa depan mereka.

Menurutnya, biasanya orang miskin memiliki ciri-ciri seperti putus asa, rasa rendah diri, rendahnya aspirasi, dan berperilaku agresif karena lingkungan mereka. Lebih lanjut, Oscar berpendapat, bahkan ketika anak-anak lahir miskin dapat memperoleh beberapa kemajuan, pola pikir kemiskinan akan tetap tertanam dalam diri mereka. Itu menyebabkan mereka terus membuat keputusan yang buruk dan tidak pernah sepenuhnya melarikan diri darinya.

Dia percaya, orang tua miskin paling sering menyadari beberapa nilai arus utama, tetapi menolak untuk mengajarkan pelajaran itu kepada anak-anak mereka, bahkan sampai mencegah anak-anak mereka mempelajari pola pikir yang kontras itu. Praktik ini memengaruhi anak-anak mereka untuk menolak nilai-nilai arus utama dan menantang Teori Budaya Kemiskinan begitu mereka dewasa, yang hanya melanggengkan kelanjutan kemiskinan dalam generasi keluarga mereka.

Oscar Lewis juga menulis buku “La Vida: A Puerto Rican Family in the Culture of Poverty,” yang diterbitkan pada tahun 1966. Buku itu menyatakan banyak pendapat yang sama.

Pendukung teori ini percaya, nilai-nilai orang dalam kemiskinan berbeda dari nilai-nilai orang-orang di kelas menengah dan nilai-nilai itu diturunkan dari generasi ke generasi, menyebabkan setiap cabang baru keluarga melanjutkan siklus kemiskinan.

Kebiasaan, sikap, dan nilai-nilai yang diasosiasikan dengan orang-orang miskin ini termasuk ego yang lemah dan terlalu fokus pada masa kini. Para ahli teori menganggap karena mentalitas tersebut orang yang terlahir miskin seringkali tetap miskin. Pada dasarnya, teori budaya kemiskinan menyalahkan nilai-nilai dan norma-norma budaya masyarakat untuk kemiskinan yang berlanjut.

Kritik Kaum Marxis

Dua tahun lalu, kita mungkin masih ingat, bagaimana Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Muhadjr Effendy menyarankan, agar orang kaya menikahi orang miskin agar memutus rantai kemiskinan.

Muhadjir mengusulkan, hal tersebut menjadi fatwa dan gerakan moral. Menurutnya, ketika orang miskin menikah dengan miskin, maka akan menciptakan keluarga miskin baru.

Sementara, mengutip Blacksacademy, kaum Marxis berpendapat, keberadaan orang miskin bermanfaat bagi kelas penguasa. Kemiskinan meningkatkan motivasi kelas pekerja untuk bekerja. Mereka yang bekerja juga menerima imbalan tidak setara. Adanya upah yang rendah mengurangi tuntutan upah tenaga kerja secara keseluruhan.