Ombudsman menyampaikan lima potensi maladministrasi yang dilakukan BPOM dalam kasus penyakit ginjal akut yang diduga akibat keracunan bahan obat sirop.
BARISAN.CO – Kinerja pengawasan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) disorot kalangan parlemen, menyusul adanya peredaran obat sirop mengandung zat etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG). Dua zat itu diduga menjadi salah satu penyebab penyakit ginjal akut yang menyerang ratusan anak di Indonesia.
Anggota Komisi IX DPR RI, Alifudin mendesak adanya evaluasi terhadap kinerja BPOM. Alif mendorong adanya evaluasi secara menyeluruh untuk mengantisipasi hal serupa terulang.
“Sangat menyayangkan tugas pengawasan dari BPOM yang kurang maksimal atas kasus gagal ginjal akut yang menyebabkan ratusan anak meninggal dunia,” terang Alif melalui keterangan pers, Rabu (26/10/2022).
Ia menegaskan, kasus ini harus diusut hingga ke akarnya. “Ini bukan saling menyalahkan. Kita cari solusi untuk proteksi dini atas permasalahan ini,” tegas Alif.
Alif memperingatkan kepada masyarakat agar berhati-hati ketika memberikan obat kepada anak. Namun, tetap berpikir jernih apabila terjadi suatu masalah.
“Karena jika pikiran tidak tenang akan menimbulkan stres yang akibatnya membuat penyakit,” tutupnya.
Senada dengan itu, anggota Komisi bidang Kesehatan DPR, Kurniasih Mufidayati juga mendesak BPOM bertanggung jawab dalam kasus ini. Menurutnya, temuan Ombudsman soal potensi maladministrasi BPOM mesti ditindaklanjuti pihak terkait.
“Kalau kemudian BPOM menjelaskan mengandung kandungan ABCD, pertanyaan berikutnya ke mana aja pengawasan BPOM? Jadi, saya rasa kekhawatiran masyarakat ini sangat wajar, dan kami juga meminta pertanggungjawaban dari BPOM. Kemudian ketika hari ini ada statement dari Ombudsman, saya kira itu kan lembaga yang punya hak dan wewenang, jadi mungkin pastinya memiliki bukti atau indikasi yang sesuai dengan SOP Ombudsman sendiri,” kata Kurniasih mengutip dari KBR.
Kurniasih merasa prihatin dengan kelemahan dan rentannya pengawasan kandungan bahan-bahan obat yang beredar. Sebab, ambang batas senyawa yang terlampaui dalam sejumlah sirop membuat masyarakat khawatir.
“Kita merasa sangat prihatin sekali dengan situasi yang terjadi saat ini, karena situasi ini benar-benar mengejutkan dan menunjukkan bahwa kita memiliki kelemahan yang sangat rentan,” ujarnya.
Kurniasih menambahkan, BPOM semestinya memiliki standar dalam pengawasan bahan obat-obatan secara berkala. Menurutnya, hal ini perlu menjadi perhatian serius BPOM untuk berbenah memperbaiki.
“SOP-nya kan harusnya ada pengawasan dan.juga uji berkala bahan-bahannya masih sesuai dengan saat dikeluarkannya izin edar atau tidak,” tutur Kurniasih.
“Kami terus melakukan komunikasi informasi dengan Kemenkes dan BPOM agar pemerintah harus memitigasi. BPOM harus berbenah diri dan saya rasa pemerintah harus tegas,” pungkasnya.
Lima Potensi Maladministrasi BPOM
Sebelumnya, Ombudsman menyampaikan lima potensi maladministrasi yang dilakukan BPOM dalam kasus penyakit ginjal akut yang diduga akibat keracunan bahan obat sirop.
Anggota Ombudsman, Robert Na Endi Jaweng mengatakan potensi maladministrasi yang dilakukan BPOM terjadi pada sisi pengawasan. Ia menyebut, kelalaian BPOM terjadi pada proses sebelum obat didistribusikan atau diedarkan dan setelah produk itu beredar.
“BPOM tidak maksimal melakukan pengawasan terhadap produk yang diuji oleh perusahaan farmasi. Dengan mekanisme uji mandiri, seolah-olah kepada perusahaan itu diberikan kewenangan negara untuk melakukan pengujian tanpa kontrol yang kuat dari BPOM. Kami temukan mekanismenya itu justru adalah uji mandiri dilakukan perusahaan farmasi dan baru kemudian mereka melaporkan ke BPOM, jadi BPOM ini terkesan pasif,”ujar Robert dalam konferensi pers yang disiarkan secara daring, Selasa, (25/10/2022).