Oleh: Awalil Rizky, Ekonom Bright Institute
PEMERINTAH memutuskan membuka keran impor gula kristal putih (gula konsumsi) dan gula kristal merah (rafinasi) untuk tahun 2023. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengatakan keputusan tersebut berdasarkan pengajuan dari Badan Pangan Nasional yang merujuk pada kebutuhan nasional yang ditetapkan dalam rapat di Kemenko Perekonomian. Pelaksana impor gula konsumsi ditugaskan kepada BUMN, sedangkan gula rafinasi diserahkan kepada Kementerian Perindustrian.
Disebutkan oleh Zulkifli Hasan bahwa kuota impor gula konsumsi mencapai 991 ribu ton dan gula rafinasi 3,6 juta ton, sehingga total mencapai sekitar 4,6 juta ton. Dari pengalaman beberapa tahun terakhir, realisasi impor gula pada tahun 2023 nanti diprakirakan melampaui besaran kuota itu. Baik karena kemungkinan penambahan kuota atau karena pengiriman barang kuota tahun sebelumnya.
Kemungkinan realisasi melampaui kuota juga diindikasikan oleh data impor gula menurut Badan Pusat Statistik (BPS) yang sebanyak 5,48 juta ton dengan nilai mencapai 2,38 miliar dolar pada tahun 2021. Belum ada data resmi untuk tahun 2022 yang baru berlalu. Diprakirakan tak jauh berbeda dalam hal volume dengan tahun 2021, yakni di kisaran 5 juta ton.
Data BPS memperlihatkan bahwa volume atau jumlah gula yang diimpor cenderung meningkat selama kurun tahun 2015-2021, meski ditandai oleh penurunan pada tahun tertentu. Impor pada tahun 2014 tercatat masih sebesar 2,93 juta ton.
Pada saat bersamaan, produksi dalam negeri justeru cenderung menurun perlahan. Dari sebesar 2,58 juta ton pada tahun 2014 menjadi 2,35 juta ton pada tahun 2021.
Kecenderungan penurunan produksi dan kenaikan impor ini kadang membuat orang mengenang masa lalu yang jauh, yakni pada era kolonial. Pada tahun 1637, Vereeningde Oost-Indische Compagnie (VOC) telah berhasil mengekspor sekitar 625 ribu kilogram. Pemerintahan Hindia-Belanda pengganti VOC bahkan berhasil melipatgandakannya. Volume ekspor gula dilaporkan sebesar 6.710 ton pada tahun 1830, lalu meningkat menjadi 61.750 ton pada 1840, dan mencapai 146.670 ton pada tahun 1870.
Indonesia bisa dikatakan mengalami era kejayaan indutsri gula hingga tahun 1930-an. Sempat mengekspor gula sebanyak 2,4 juta ton per tahun. Sedangkan produksinya di kisaran 3 juta ton. Pada saat itu, Indonesia menjadi eksportir nomer dua di dunia, hanya kalah dari Kuba.
Era kejayaan tersebut kemudian memudar di masa akhir pemerintahan Belanda karena berbagai faktor. Pemerintah Indonesia setelah kemerdekaan pun tidak berhasil mengembalikannya.
Tingkat produksi sendiri sempat sedikit membaik, namun karena diikuti oleh permintaan domestik yang terus meningkat, maka volume ekspor terus menurun. Ekspor gula Indonesia kemudian terhenti sejak tahun 1966. Bahkan, untuk pertama kalinya melakukan impor sebesar 33 ton pada tahun 1967.
Produksi sempat cenderung meningkat secara perlahan, dari 1,26 juta ton pada tahun 1980 menjadi 2,45 juta ton pada tahun 1994. Setelahnya, produksi kembali cenderung menurun hingga sebesar 1,49 juta ton pada tahun 1999. Sejak tahun 2000, produksi kembali cenderung meningkat hingga mencapai juta ton pada tahun 2014.
Jika dilihat kondisinya dalam dua era pemerintahan terakhir, maka pada periode Presiden SBY produksinya sedikit meningkat. Dari 2,05 juta ton pada tahun 2014 menjadi 2,58 juta ton pada tahun 2014. Akan tetapi, impor meningkat pesat, dari 1,20 juta ton menjadi 2,93 juta ton.
Pada era Presiden Jokowi, produksi menurun dari 2,58 juta ton (2014) menjadi 2,35 juta ton (2021). Sedangkan impor meningkat, dari 2,93 juta ton (2014) menjadi 5,48 juta ton (2021). Nilai impor pada tahun 2021 ini mencapai US$2,38 miliar.