Beralih membeli kebutuhan sehari-hari di warung adalah salah satu cara membantu UMKM dapat berkembang.
BARISAN.CO – Di tengah menjamurnya retail seperti toserba dan supermarket, toko kelontong tradisional masih tetap bertahan. Data Euromonitor mengungkapkan, jumlah toko kelontong tradisional di tahun 2021 mencapai 3,57 juta unit. Sedangkan, toserba 38.823 unit dan supermarket 1.441 unit.
Dalam salah satu video Youtube yang dibagikan oleh Ferry Irwandi, eks ASN Kementerian Keuangan menyampaikan, sudah dua tahun lebih, dia mulai beralih membeli kebutuhan sehari-hari di warung kecil.
“Lu pernah kebayang ga sih berapa besar pendapatan yang didapatin pengusaha warung per harinya? Dari apa yang gue survei, yang gue tanya, ternyata ga bisa dibilang gede, marginnya tipis,” kata Ferry.
Dia menjelaskan, rerata keuntungan per item yang dijual di warung sekitar Rp500-Rpp1.000.
“Dari keterbatasan itu, mereka menyambung hidup, dari hari ke hari, dari bulan ke bulan, dari tahun ke tahun, dan bukan hidup, tapi menghidupi juga. Ternyata itu bukan kondisi terburuk, pandemi masuk ke Indonesia dan mereka bisa dibilang salah satu pihak yang kena dampak paling besar, di sekitar rumah gue udah banyak toko kelontong yang tutup entah karena ga punya modal buat muterin barang, ga punya kekuatan finansial untuk sewa tempat, dan lain sebagainya,” tambahnya.
Dia percaya, sejak pandemi Covid-19, banyak warung di sekitar kita juga gulung tikar.
Pandemi memang menghantam semua lini usaha, termasuk toko kelontong. Diperkirakan, penjualannya turun 16% dari US$63,64 juta menjadi US$53,59 juta.
“Gue pengen banget bisa bantu, pengen punya uang triliunan, di mana uang itu gue bikin program, katakanlah misalnya seribu atau sejuta warung, jadi modalin warung untuk bisa bertahan, tapi gue ga punya duit sebanyak itu. Tapi, gue masih pengen bantu, seenggaknya sedikit saja yang bisa gue lakukan untuk mereka,” tambahnya.
Bantuan itu sederhana, ungkap Ferry, yakni dengan membeli dagangan mereka. Itulah alasanya mengubah kebiasaan dari membeli di toko retail besar ke warung.
“Ketika kita belanja di warung manfaat yang kita kasih bukan cuma ke yang punya warung doang, tapi bisa scope-nya lebih luas,” lanjutnya.
Ferry mengilustrasikan, misal omzet yang didapatkan pemilik warung, sebagian diputar untuk modal, dan sisanya untuk pemenuhan kebutuhan, seperti membeli pulsa di counter HP.
“Sama si counter hp, uang yang dia punya, disisain untuk modal dan pemenuhan kebutuhan. Pemenuhan itu, misalnya beli nasi di warteg dan ketika mendapatkan itu, si warteg melakukan hal yang sama. Berarti kan ini ada roda perekonomian yang berputar,” jelasnya.
Yang ini akan membuat masyarakat tetap dapat menggerakkan usahanya walau pandemi, namun ini tidak akan terjadi, kata Ferry jika orang tidak belanja di warung.
Membiasakan belanja di warung, jelas Ferry akan berpengaruh pada usaha-usaha kecil yang lain, baik langsung maupun tidak langsung.
Karena faktanya, perekonomian Indonesia ini, 60,5 persen UMKM, jelasnya.
“Kalau UMKM sampai kolaps, dampaknya kena ke kita-kita semua,” ujar Ferry.
Kedua, habit yang dia ubah adalah soal kembalian. Dia tidak lagi mengambil kembalian uang belanjanya.
“Bukan karena gue ga menghargai duit, tapi gue ngerasa, misalnya duit seribu sampai lima ribu itu tetap berharga buat gue, buat orang lain bisa lebih berharga dan bermanfaat. Misalnya di warung, margin untungnya itu kan kecil banget untuk per item, kalau mereka mendapat 10 ribu tanpa harus menjual barang itu sesuatu yang bisa bermanfaat buat mereka,” terangnya.
Menurutnya, itu akan lebih efektif dan lebih tepat sasaran ketimbang memberikan uang kepada pengemis yang dalam usia produktif.