Kontemplasi

Pidato 1 Juni

Ardi Kafha
×

Pidato 1 Juni

Sebarkan artikel ini
Pidato 1 Juni
Ilustrasi foto: Pexels.com/ el jusuf

Mengenang Pidato 1 Juni sedianya menjadi momentum yang menempatkan urusan keadilan sosial di posisi terdepan dalam berbangsa dan bernegara.

ITU adalah pidato terbaik Soekarno sepanjang karir politiknya, sebut Rizal Mallarangeng dalam sebuah esai di buku Dari Jokowi ke Harari.

Dan memang demikian, saya baca dari berbagai risalah tentang Pancasila, Pidato Soekarno itu begitu heroik, berbobot, runtut, dan yang terpenting penuh empatik. Pidato tanpa teks, tetapi mengundang tepukan gemuruh dari para anggota sidang BPUPK.

Buat saya, bukan kemampuan berpidato atau retorikanya yang sanggup membius pendengar, melainkan materi pidatonya, kedalaman isinya. Pidato Bung Karno 1 Juni 1945 itu adalah momen kelahiran Pancasila.

Materi pidato tersebut merupakan argumen untuk menampik desakan tokoh-tokoh Islam tentang dasar negara. Seperti Ki Bagoes Hadikoesoemo, misalnya, seorang tokoh Muhammadiyah yang mendesakkan ide syariat Islam sebagai dasar negara.

Dalam ungkapan Soekarno, “Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan. Tetapi kita mendirikan negara ‘semua buat semua’, ‘satu buat semua, semua buat satu’.”

Dan kenyataan saat itu, yang hadir dalam sidang BPUPK berasal dari tiga arus ideologi yang berhaluan: keagamaan (Islam), kebangsaan (nasionalisme), dan sosialisme.

Soekarno duduk sebagai penengah melihat bahwa ketiga haluan itu memiliki titik perbedaan yang tajam, rawan benturan. Soekarno sampai beberapa kali meminta maaf, khususnya kepada ketua PP Muhammadiyah, Ki Bagoes Hadikoesoemo, “Maafkan… saya pun orang Islam.”

Nah, dalam merumuskan dasar negara, mesti ada titik temu. Dan Soekarno menemukan titik temu dalam tiga prinsip: sosio-religius, sosio-nasionalisme, dan sosio-demokrasi.

Sosio-religius adalah prinsip ketuhanan yang bersifat murah hati (socius). Ketuhanan yang berelasi muamalah, yang penuh welas asih dan lapang. Ketuhanan yang berbudi pekerti, yang hormat-menghormati satu sama lain. Dan prinsip ini terkandung pada sila pertama.

Sosio-nasionalisme adalah prinsip kebangsaan yang bermurah hati (socius). Prinsip kebangsaan yang menjunjung perikemanusiaan. “Kebangsaan yang kita ajukan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan chauvinisme.” Prinsip ini merupakan perpaduan sila kedua dan ketiga.

Sosio-demokrasi adalah demokrasi yang bermurah hati (socius). Demokrasi yang berkeadilan sosial. Demokrasi yang tidak hanya bersikait dengan partisipasi dan emansipasi di bidang politik, tetapi juga di bidang ekonomi. “Demokrasi sejati yang mencari keberesan politik dan ekonomi, keberesan negeri dan keberesan rezeki.” Prinsip ini terpadu dalam sila keempat dan kelima.  

Ketiga prinsip itu dipersatukan oleh sifat bermurah hati (socius) secara aktif, yang oleh Bung Karno disebut dengan semangat gotong royong.

Soekarno menjelaskan, sebagaimana diulas Yudi Latif dalam buku Mata Air Keteladanan, “Gotong royong adalah paham yang dinamis, lebih dinamis dari kekeluargaan. Gotong royong adalah pembanting tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua.”

Jadi, kalau kekeluargaan bersifat pasif, sementara gotong royong bersifat aktif. Solidaritas yang dimaui gotong royong berupa praksis untuk menggalang kerja sama. Saling menghormati, saling berbagi, saling menjaga, dan saling melindungi. Gotong royong adalah bersatu untuk hidup yang lebih baik.