Oleh: Achmad Fachrudin, Akademisi dari Universitas PTIQ Jakarta
TERMINOLOGI kartel lajim digunakan untuk menunjuk praktik persekongkolan sejumlah perusahaan (bisnis) dalam mengendalikan jumlah produksi, harga atau jasa untuk beroleh keuntungan tidak wajar. Kemudian oleh sejumlah sarjana politik, seperti Ambardi (2008), Slater (2014), Muhtadi (2015) untuk menyebut sejumlah nama, istilah kartel digunakan untuk memotret persekongkolan politik antar partai politik (Parpol), elit politik maupun dengan penguasa untuk memenangkan kontestasi elektoral dengan cara yang tdak wajar. Bahkan menjurus curang.
Sebenarnya politik kartel sudah diterapkan di masa regim Orde dengan Soeharto sebagai presiden dan Golkar sebagai operator politik serta Menteri Dalam Negeri Amir Mahmud kala itu sebagai bolduser politiknya. Hanya saja pola atau modusnya tidak dalam persekutuan besar dan banyak melibatkan partai politik (Parpol) karena jumlah Parpol hanya tiga, yakni: Partai Perstuan Pembangunan atau PPP, Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia atau PDI. Dalam mengoperasikan politik kartel di masa orde baru, lebih banyak melibatkan antara Golkar, birokrasi, militer dan pebisnis, khususnya yang beraliansi (kroni) dengan keluarga Cendana.
Sebagaimana diungkap Indonesianis asal Amerika Serikat Jeffrey Alan Winters, tumbangnya regim orde baru dan lahirnya regim reformasi tidak serta merta membuat praktik kartel politik atau tepatnya oligarki politik lenyap, melainkan tetap eksis dan survive dengan katalisator dan aktor-aktor politiknya mengalami deferensiasi. Sementara Golkar, tidak lagi menjadi partai penguasa (the ruling party) di masa reformasi. Kecuali pada 2004 karena menang dalam Pemilu saat itu. Namun dengan modalitas sumber daya manusia, dan pengalaman panjang sebagai partai penguasa, Golkar masih tetap memainkan peran strategis. Bahkan dalam beberapa peristiwa politik krusial, elit Golkar mampu menjadi lokomotif politik.
Dimensi Historisitas
Kuskrido Ambardi dalam buku bertajuk “Politik Kartel, Studi tentang Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi” membedah, sejak reformasi partai-partai di Indonesia telah membentuk sistem kepartaian yang mirip kartel. Ambardi lalu menyebut, lima ciri kartel dalam sistem kepartaian, yaitu, (1) hilangnya peran ideologi partai sebagai faktor penentu perilaku koalisi partai, (2) sikap permisif dalam pembentukkan koalisi, 3) tidak adanya oposisi, (4) hasil-hasil Pemilu hampir-hampir tidak berpengaruh dalam menentukan perilaku partai politik dan (5) kuatnya kecenderungan partai untuk bertindak secara kolektif sebagai satu kelompok. Kelima ciri ini, khususnya yang kelima, berlawanan dengan sifat umum sistem kepartaian yang kompetitif.
Katz dan Mair (1995) mengamati, partai kartel yang muncul paska tahun 1970, dianggap sebagai model baru karena bukan hanya menggunakan capital intensive dalam strategi kampanye tetapi juga menjadikan Parpol sebagai profesi individu. Lebih dari itu, menggunakan negara sebagai sumber daya pendanaan partai. Konsekwensinya Parpol menjadi lebih dekat dan tergantung dengan negara atau penguasa daripada dengan masyarakat. Di masa reformasi, makin lumrah terjadi Parpol menghianati aspirasi pendukungnya dan memilih mendekat kepada penguasa.
Slater (2004) mengamati, pasca-Pemilu 1999 politik kartel justeru menunjukkan makin menguat. Perbedaan dan preferensi ideologi partai yang sempat mencuat pada awal maraknya lahir Parpol baru plus tiga Parpol lawas (PPP. Golkar, dan PDI yang kemudian bertransformasi menjadi PDI Perjuangan), secara lambat namun pasti akhirnya pupus. Disini, ungkap Slater dan Ambardi, kolaborasi antar partai, antar partai dan dengan pemerintah, bukan untuk berkompetisi secara demokratis dan sehat, melainkan untuk mengambil keuntungan secara curang.