Defisit APBN 2024 yang mencapai Rp507,8 triliun mencerminkan tantangan besar dalam pengelolaan fiskal, di tengah belanja negara yang terus meningkat lebih cepat daripada pendapatan.
BARISAN.CO – Dalam analisis terbarunya di platform media sosial X (sebelumnya Twitter), ekonom Awalil Rizky membedah realisasi sementara Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 dan menyoroti berbagai tantangan fiskal yang harus dihadapi pemerintah di tahun 2025.
Dengan tiga fokus utama defisit anggaran, pertumbuhan pendapatan negara, dan kenaikan belanja negara, Rizky memberikan pandangan kritis yang dapat menjadi referensi penting dalam memahami arah kebijakan fiskal ke depan.
Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky memulai analisisnya dengan menyoroti defisit APBN 2024, yang tercatat sebesar Rp507,8 triliun atau setara 2,29% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Meski angka ini masih berada di bawah ambang batas defisit 3% yang diatur dalam Undang-Undang Keuangan Negara, Rizky menggarisbawahi bahwa tren defisit ini telah menjadi pola yang cukup mengkhawatirkan, terutama selama dua periode pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Rizky memaparkan data yang menunjukkan bahwa pada periode 2020–2024, rata-rata defisit APBN mencapai 3,39% terhadap PDB, lebih tinggi dibandingkan periode sebelum pandemi yang hanya 2,32%.
Meskipun pandemi COVID-19 menjadi alasan utama melebarnya defisit pada 2020 hingga 2022, ia menilai bahwa pemulihan fiskal pascapandemi berjalan lebih lambat dari yang diharapkan.
Bahkan untuk 2025, pemerintah telah menetapkan target defisit sebesar 2,53% dari PDB — angka yang tetap tinggi dalam konteks situasi pascapandemi.
Rizky menekankan bahwa defisit yang terus melebar mencerminkan kesenjangan struktural antara pendapatan dan belanja negara.
Menurutnya, jika defisit ini tidak dikelola dengan baik, Indonesia berpotensi menghadapi tantangan serius terkait keberlanjutan fiskal, terutama dalam menjaga stabilitas utang publik.
Pada poin kedua, Awalil Rizkz menyoroti pertumbuhan pendapatan negara yang melandai dalam beberapa tahun terakhir. Realisasi sementara pendapatan negara 2024 tercatat sebesar Rp2.842,5 triliun, naik tipis 2,10% dibandingkan tahun sebelumnya.
Ini merupakan pertumbuhan yang sangat rendah dibandingkan rata-rata kenaikan sebelum pandemi, yang mencapai 5,47% per tahun.
Dalam grafik yang disajikannya, Rizki menunjukkan bagaimana pendapatan negara mulai kehilangan momentum sejak 2023, ketika kenaikannya hanya mencapai 5,62%.
Ia mencatat bahwa tren perlambatan ini tidak hanya disebabkan oleh perlambatan ekonomi global, tetapi juga oleh tantangan struktural dalam pengelolaan sumber-sumber pendapatan domestik.
Untuk tahun 2025, pemerintah menargetkan pendapatan negara sebesar Rp3.005 triliun, dengan pertumbuhan yang diharapkan mencapai 5,72%.
Meskipun target ini masih realistis, Rizki menilai bahwa pemerintah harus bekerja ekstra keras untuk mencapainya.
Salah satu tantangan utama adalah meningkatkan basis pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP), tanpa membebani masyarakat dengan kebijakan fiskal yang terlalu agresif.
Rizky juga menyoroti peran penting sektor pertambangan dan energi dalam struktur pendapatan negara. Dengan fluktuasi harga komoditas yang tak terduga, ketergantungan pada sektor ini dapat menjadi risiko besar bagi stabilitas pendapatan negara.
Oleh karena itu, ia mendorong diversifikasi sumber pendapatan sebagai langkah strategis untuk meningkatkan ketahanan fiskal.
Pada poin ketiga, Awalil Rizky membahas kenaikan belanja negara yang signifikan selama periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi. Realisasi belanja negara pada 2024 mencapai Rp3.350 triliun, dengan kenaikan sebesar 7,34% dibandingkan tahun sebelumnya.