Scroll untuk baca artikel
Kolom

Jedah

Redaksi
×

Jedah

Sebarkan artikel ini
Oposisi Terbuka
Imam Trikarsohadi

Puasa Ramadhan adalah jeda spiritual untuk membersihkan jiwa dan mengembalikan manusia pada fitrahnya.

Oleh: Imam Trikarsohadi
(Dewan Pakar Pusat Kajian Manajemen Strategik)

RAMADHAN kembali menyapa umat Muslim di seluruh dunia. Sebuah bulan yang penuh dengan keberkahan dan dilaksanakannya puasa sebagai salah satu rukun Islam.

Bagi umat Muslim, bulan suci Ramadhan adalah momentum yang sangat dinantikan. Sebab sekaligus memperbaiki spiritual, mental, moral, dan perilaku sosial pada bulan yang penuh ampunan dari Yang Mahakuasa dengan rahmat yang diberikan-Nya.

Sebab itu, sejatinya, puasa tak sekedar merotasi jadwal makan, minum, senggama pada siang hari serta pengendalian pelbagai hawa nafsu, tapi merupakan sarana untuk tujuan yang lebih tinggi dan agung di luar urusan tubuh.

Apa sebab ? jawabnya, selama 11 bulan penuh dalam setahun, manusia melalui pancainderanya penuh sesak dengan aneka macam motif yang cenderung kotor dan najis seperti; tamak, serakah, culas, iri, dengki, dan sebagainya. Sebab itu, agar tidak semakin destruktif, maka jiwa perlu dibersihkan melalui puasa yang paripurna agar kualitas jiwa tetap terjaga.

Dengan demikian, puasa Ramadhan menjadi momentum “jeda” dalam memperjalankan jiwa menuju kualitas terbaik dengan predikat awal sebagai khalifah fil ard atau wakil Allah di Bumi.

Pengendalian jiwa raga selama sebulan itu, sekaligus sebagai evaluasi guna perbaikan diri dan hasilnya menjadi bekal untuk melanjutkan perjalanan pada 11 bulan berikutnya.

Sebagai momentum jeda, puasa adalah peluang untuk terus memurnikan jiwa luhurnya sebagai “sebaik-baik ciptaan“. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al Quran Surat At-Tin ayat 4, yang artinya “Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.

Jika status sebagai wakil Allah bergandeng dengan stempel diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya, maka Bulan Ramadhan juga menjadi sarana bagi yang menjalaninya untuk kita terus mengunduh sifat-sifat Allah, kemudian diperagakan di alam semesta ini.

Dengan berpuasa, perut menjadi kosong, rasa lapar/haus hadir, dan saat bersamaan pikiran menjadi lebih tenang dari rutinitas memikirkan hal-hal rumit njlemit, khususnya terkait dengan pemuasan ego atau hawa nafsu, seperti mewujudkan impian-impian yang bersifat material.

Dalam kondisi jiwa yang masih dikuasai oleh hasrat pemenuhan, biasanya manusia sering terjebak dalam kondisi jiwa yang iri, dengki, emosional, termasuk jeratan yang paling tinggi serta halus adalah rasa bangga alias ujub dan congkak.

Sebab itu, alangkah konstruktifnya jika selama Ramadhan digunakan secara optimal untuk kontemplasi atau muhasabah sehingga mampu membaca di mana posisi jiwa kita terjebak dalam rasa ketidakterpenuhan hasrat, baik harta, takhta, maupun status sosial, dan dengan berpuasa menjadi waktu yang tepat untuk memetakan itu.