Efisiensi anggaran dinilai tidak berjalan efektif karena sebagian besar hanya berupa pengalihan, bukan pengurangan belanja riil
BARISAN.CO – Pemerintah sebelumnya mengklaim akan melakukan efisiensi belanja negara hingga Rp306 triliun pada tahun 2025. Namun, realisasinya hanya sebesar Rp97 triliun. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: ke mana sisa Rp209 triliun tersebut?
Pertanyaan itu disuarakan oleh ekonom dari Bright Institute melalui kanal YouTube-nya dalam ulasan kritis terhadap realisasi dan proyeksi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Semester I 2025.
Menurutnya, pemerintah tampak menghadapi tantangan serius dalam pengelolaan fiskal. Meski efisiensi digaungkan, nyatanya belanja negara tetap meningkat dan defisit membengkak.
Ekonom tersebut menyebut bahwa proyeksi pendapatan negara untuk 2025 hanya tumbuh tipis, yakni 0,05% dibandingkan 2024.
Sementara itu, belanja negara tetap meningkat sebesar 4,99% menjadi Rp3.527,51 triliun. Ini menghasilkan defisit yang diperkirakan mencapai Rp662 triliun atau 2,78% dari Produk Domestik Bruto (PDB), mendekati batas defisit maksimal 3% yang diizinkan oleh undang-undang.
“Rencana efisiensi Rp306 triliun ternyata hanya berujung pemangkasan Rp97 triliun. Kemana sisanya? Jawabannya, sebagian besar ternyata hanya dialihkan, bukan dipangkas,” ungkapnya.
Ia menjelaskan bahwa alokasi anggaran justru dialihkan ke program-program prioritas Presiden, seperti bantuan MBG dan peningkatan anggaran Kementerian Pertahanan.
Di sisi lain, transfer ke daerah justru mengalami penurunan, menandakan meningkatnya kembali sentralisasi keuangan negara.
Lebih lanjut, ia menyoroti bahwa rasio pendapatan negara terhadap PDB juga terus menurun sejak era Presiden Jokowi dan berlanjut di tahun pertama pemerintahan Prabowo.
Pendapatan negara pada 2025 diperkirakan hanya 12,03% dari PDB, jauh di bawah rasio saat awal pemerintahan SBY yang pernah mencapai 17,57%.
Selain itu, penerimaan perpajakan juga diprediksi tidak mencapai target. Pemerintah memperkirakan penerimaan perpajakan hanya sebesar Rp2.387,28 triliun dari target Rp2.490,91 triliun, atau mengalami shortfall sebesar 4,2%.
Ini merupakan angka shortfall tertinggi dalam beberapa tahun terakhir. Penyebabnya antara lain karena batalnya kenaikan tarif PPN dan perlambatan ekonomi nasional.
Tak hanya pajak, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) juga diprediksi turun tajam sebesar 18,34% dibanding tahun lalu, sebagian besar karena kebijakan tidak memasukkan dividen BUMN ke dalam APBN, melainkan langsung ke lembaga baru bernama Danantara.
Di tengah pelemahan pendapatan, beban belanja justru semakin berat, terutama untuk pembayaran bunga utang yang terus meningkat.