Scroll untuk baca artikel
Kolom

Hari Tani Nasional 2025: Harga Pangan Naik, Petani Tetap Miskin

×

Hari Tani Nasional 2025: Harga Pangan Naik, Petani Tetap Miskin

Sebarkan artikel ini
Hari Tani Nasional 2025
Ilustrasi

Pertanian Indonesia menghadapi masalah serius: harga pangan tidak stabil, subsidi tidak efektif, serta petani tetap miskin meski berproduksi tinggi.

MEMPERINGATI Hari Tani Nasional 2025, perhatian publik kembali tertuju pada kondisi petani di Indonesia yang masih jauh dari sejahtera. Meski sektor pertanian disebut sebagai tulang punggung bangsa dengan kontribusi lebih dari 12 persen terhadap PDB nasional, faktanya kehidupan petani masih dibayangi persoalan klasik.

Sebut saja; harga pangan yang tidak stabil, tingginya ketergantungan pada impor, serta lemahnya hilirisasi produk.

Alih-alih menjadi sektor unggulan, pertanian justru kerap menjadi pelarian tenaga kerja akibat minimnya lapangan kerja formal, sementara kesejahteraan petani tetap stagnan.

Inilah gambar negara Indonesia dikenal sebagai negara agraris dengan potensi lahan subur, iklim tropis yang mendukung, dan jumlah tenaga kerja di sektor pertanian yang besar.

Namun, potensi tersebut belum berbanding lurus dengan kesejahteraan petani. Persoalan klasik terus menghantui, mulai dari fluktuasi harga pangan, ketergantungan impor, lemahnya hilirisasi, hingga pergeseran tenaga kerja yang menjadikan sektor pertanian sebagai pelarian akibat sempitnya lapangan pekerjaan.

Setiap menjelang Ramadan dan Lebaran, isu kenaikan harga pangan selalu menjadi sorotan utama. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa inflasi kelompok makanan, minuman, dan tembakau konsisten lebih tinggi dibanding inflasi umum.

Pada Februari 2024, inflasi umum hanya 0,09 persen, sementara inflasi pangan mencapai 2,25 persen. Inflasi umum pada Juli 2025 mencapai 2,37 %, komponen pangan cenderung meningkat lebih tinggi dan meresahkan konsumen dan produsen, sementara stabilitas harga tetap sulit dicapai.

Komoditas seperti cabai, bawang, telur, dan daging menjadi penyumbang terbesar. Fenomena ini menunjukkan bahwa harga pangan bersifat musiman, rentan melonjak pada periode tertentu, tetapi tidak selalu memberi keuntungan pada petani.

Kondisi harga di Indonesia cenderung asimetris. Saat harga di tingkat konsumen naik, keuntungan petani tidak meningkat signifikan.

Sebaliknya, ketika harga turun, petani menanggung kerugian lebih besar. Situasi ini menciptakan jurang kesejahteraan yang dalam.

Bahwa stabilitas harga lebih penting bagi petani dibanding harga tinggi sekalipun. Namun, kebijakan pemerintah masih cenderung menjaga harga konsumen tetap rendah, alih-alih memastikan petani memperoleh harga layak.

Sementara itu, sektor pertanian menghadapi tantangan lain dari sisi makroekonomi. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) pertanian pada triwulan II 2025 tercatat sekitar 2,1 persen, lebih rendah dibandingkan pertumbuhan ekonomi nasional yang diproyeksikan di kisaran 5 persen.