Oleh: Ki H. Ashad Kusuma Djaya
Beberapa waktu lalu saya baca kiriman di media sosial bergambar siswi berjilbab dengan sebuah komentar: “Tetaplah berhijab karena dosamu tidak ditanggung SKB 3 menteri”. Saya pun jadi ingin menyimak isi SKB 3 menteri yang dimaksudkan.
Saya baca inti dari SKB itu adalah pemerintah dan sekolah tidak boleh mewajibkan atau pun melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama kepada peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan. Lalu kenapa beritanya justru yang santer adalah larangan berjilbab?
SKB itu justru melindungi siswi di sekolah negeri yang ingin berjilbab dari larangan sekolah dan pemerintah. Beberapa waktu lalu muncul kasus pelarangan siswi berjilbab di beberapa daerah seperti di Manokwari, Bali, dan beberapa daerah lainnya.
Meski di daerah lain sebaliknya ada kewajiban memakai jilbab. Lepas dari berbagai perda yang pro atau anti jilbab, jelas SKB adalah jalan bagi para siswi secara legal untuk berjilbab sesuai ajaran agama yang diyakininya.
Lepas dari perdebatan ulama tentang makna jilbab, SKB tersebut juga membuat para guru agama harus lebih cerdas melakukan penyadaran terhadap para siswinya untuk berjilbab dengan benar tidak hanya saat pelajaran agama tetapi setiap saat terhadap yang bukan muhrim.
Sehingga siswinya saat melakukan juga dengan niat secara sadar bukan dengan paksaan kekuasaan yang sangat mudah diingkari setelah pelajaran agama usai.
Saya punya pengalaman menjalani masa SMA zaman orde baru di saat jilbab dilarang di sekolah-sekolah negeri. Bahkan di SMA saya siswa putra-putri wajib memakai celana pendek saat olahraga yang dalam ajaran agama yang saya yakini hal itu berarti membuka aurat.
Dengan beberapa kawan Kharisma (nama SKI di SMA saya) kami membuat aksi-aksi menolak pelarangan jilbab. Saya kebagian membuat pamflet-pamflet perlawanan.
Alhasil saya berdua dengan ketua Kharisma dipanggil kepala sekolah diancam dikeluarkan dari sekolah jika masih terus melakukan hal-hal yang sifatnya provokatif.
Saya ingat kata-kata kepala sekolah saya waktu itu: Kita itu harus bisa menyesuaikan tempat. Di kandang kambing harus mengembik dan di kandang singa mengaum, kata beliau.
Kami berdua yang dipanggil diam, tapi sepakat bahwa kata-kata itu hanya cocok bagi orang munafik. Tidak cocok bagi kami yang memiliki keyakinan pada hal-hal yang kami anggap benar. Karena itu dengan lebih bersiasat perlawanan tetap kami jalankan.
Alhamdulillah karena sifat perlawanan yang meluas di segenap penjuru tanah air maka pelarangan jilbab menjadi dihapus. Celana olahraga pun menjadi panjang.
Namun sedihnya, saat telah diizinkannya jilbab di sekolah kami ternyata tidak segera disambut dengan luas. Beberapa orang yang sebelumnya kami anggap punya keinginan kuat untuk berjilbab masih takut-takut. Baru beberapa saat kemudian banyak yang mulai memakai jilbab.
Dari situ kami belajar bahwa butuh penyadaran tentang hakikat berpakaian. Bukan dengan pemaksaan, tetapi penyadaran secara cerdas.