BARISAN.CO – Gagasan revisi Undang – Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menjadi sorotan semenjak Presiden Joko Widodo (Jokowi) berencana untuk merevisi UU ITE. Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) mengusung tema Kuasa Digital, Pembungkaman Kritik, dan Wacana Revisi UU ITE dalam webinar kemarin, (19/09/2021).
Associante Peneliti LP3ES Herlambang Wiratman menyampaikan webinar kali ini adalah untuk merespons pernyataan Presiden Jokowi yang menyebutkan akan merevisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
“Persoalan UU ITE bukan hanya usulan revisi yang memang diperlukan, tetapi terdapat persoalan yang lebih mendasar pada tingkat kebijakan di ranah digital,” sambungnya.
Menurut Herlambang, telah terjadi proses pembungkaman kritik dan kebebasan sipil yang berakibat munculnya regresi demokrasi di Indonesia. Sehingga untuk itulah wacana revisi UU ITE memang harus direvisi tetapi perlu melihat dengan lebih jeli persoalan yang lebih luas dan mendasar.
Sementara itu Saiful Mahdi dari akademisi Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) mengatakan, revisi UU ITE jika secara parsial maka hanya menyentuh persoalan di hilir. Sedangkan soal besar sebetulnya ada di hulu yakni terjadinya serangan terhadap demokrasi.
Tantangan terbesar bagi pejuang demokrasi setelah reformasi 98 ternyata terjadi fase otoriter luar biasa,” tutur Saiful yang pernah menjadi korban penerapan UU ITE karena melontarkan kritik atas pimpinan Unsyiah di Forum WA Grup.
Respons Warganet
Direktur Cente for Media & Democracy LP3ES, Wijayanto menyampakan respons warganet atas permintaan Jokowi yang minta dikritik.
Muncul pertanyaan publik terang Wijayanto, apakah permintaan kritik tersebut memang suatu poilitical will yang muncul dari kesadaran genuine presiden tentang demokrasi dan kebebasan bicara sipil? Apakah hanya sekadar lip service agar bagi pendukung pihak yang sedang berkuasa tidak dikenakan UU ITE bila melanggar?
LP3ES melaksanakan riset sejak tanggal 12 Februari – 19 Februari 2021 di media sosial, tercatat ada 126.970 percakapan internet di berbagai media sosial terkait pemintaan kritik dari presiden.
Namun, ternyata muncul 44% sentimen negatif terhadap statement presiden tersebut, yang meragukan bahwa presiden benar-benar memiliki kesadaran genuine, di tengah telah semakin seriusnya persoalan kebebasan sipil di Indonesia.
Rilis Economic Intelligence Unit menyatakan, telah terjadi penurunan kebebasan sipil dan demokrasi di Indonesia sejak 14 tahun terakhir.
Percakapan sebagian besar pengguna internet terdata narutal, artinya betul-betul interaksi manusia sungguhan, dan bukan robot.
Yang menarik, ketika dilakukan analis emosi netizen, tenyata lebih besar emosi ketakutan pada 2900 twitt, Anger 1000, dan joy 1100 twitt. Ketakutan telah mendominasi ruang digital netizen.
Wijayanto mencontohkan, betapa takutnya ekonom senior Kwik Kian Gie ketika harus menyampaikan kritik. Kwik menyebut suasana ketakutan yang amat dirasakan saat ini ketimbang ketika dia mengkritik di masa orde baru.
“Atau ketika Jusuf Kalla menyarankan kepada publik agar ditanyakan dulu bagaiman cara mengkritik agar tidak terkena masalah. Ungkapan Jusuf Kalla cukup banyak di retweet oleh netizen,” terangnya.
Publik lebih berprinsip bahwa pernyataan Presiden Jokowi yang minta dikritik. Diikuti dengan permintaan kepada Polri agar tidak semua kasus dilanjutkan, justru dibaca sebagai niat yang meragukan, apakah benar muncul dari usul genuine presiden.