Kapolri Listyo Sigit segera kebanjiran kritik setelah ia mencanangkan program patroli virtual. Hari ini program itu sudah berjalan. Sekurangnya, sudah 12 akun media sosial kena peringatan polisi lewat direct message karena dinilai memuat konten yang melanggar UU ITE.
UU ITE sendiri sejatinya perkara plastis. Banyak pihak, oleh karenanya, khawatir razia jagat maya ini membuat polisi melampaui wacana kebebasan berpendapat. Hukum yang berlaku pada seseorang bisa tidak berlaku bagi orang lain hanya karena berbeda tafsir, misalnya tentang ujaran kebencian—ujaran yang bahkan nyaris tak pernah serius disepakati seperti apa bentuknya.
Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan. Menurut laporan Institute for Economic and Peace, Indonesia memang sedang mengalami kemunduran demokrasi. Peringkat Global Peace Index Indonesia dalam laporan itu anjlok 6 tingkat dari tahun 2019, menjadi peringkat 49 tahun 2020.
UU ITE yang memancing gelombang demonstrasi mahasiswa pada akhir tahun 2019 lalu (bersama UU KPK dan RKUHP), dinilai sebagai penyumbang terbesar penurunan tersebut.
Di media sosial sendiri, banyak nada ragu bahwa unit razia ini dapat konsisten, akuntabel, dan menjamin rasa keadilan masyarakat. “Jangan sampai kehadiran polisi virtual membatasi kebebasan berpendapat,” kata seorang warganet. “Hati-hati di Internet! Polisi mulai patroli di media sosial,” sebagaimana judul sebuah artikel.
Di Twitter, satire bernada tidak setuju pun bermunculan. Akun Okky Madasari, misalnya, mengunggah utas meme tentang tata krama kritik agar lolos jerat razia polisi virtual. “Awali dengan salam, minta izin, sampaikan bahwa ini hanya pendapat, ucapkan terima kasih, jangan lupa kasih emotikon.”
Ada ratusan ungkapan dengan nada sejenis. Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati, bahkan menganggap keberadaan Polisi Virtual akan mempersulit warga membela diri ketika dianggap melanggar UU ITE, dikutip dari CNN Indonesia.
“Pembelaan terhadap orang yang dikriminalisasi dengan UU ITE jadi lebih sulit karena polisi akan mengatakan sudah diperingatkan,” kata Asfinawati, Jumat (26/2).
Namun dalam pandangan Polri, seperti diucap Kadiv Humas Irjen Argo Yuwono, kehadiran polisi di ruang digital itu merupakan bentuk pemeliharaan Kamtibmas agar dunia siber dapat bergerak dengan bersih, sehat, dan produktif.
Dan di situlah bagian sulitnya. Apa ukuran bersih, sehat, dan produktif itu? Bagaimana menjelaskannya dengan cara yang mudah dipahami? Selama pertanyaan-pertanyaan ini gagal dijawab dengan rumusan yang mantap, polisi virtual hanya akan menjadi unit hegemoni yang tidak menambah apa-apa bagi demokrasi Indonesia, justru sebaliknya–ini hanya pendapat. []