“Apa yang telah kau bawa dan mengapa kau telusuri jalan-jalan di tengah gelap malam seperti ini”. Desir angin di tengah malam pekat gulita semerbak wangi bunga, suara itu muncul di balik semak-semak perasaan orang ingin mencari sesuap nasi.
“Tidak aku hanya ingin memasang sepanduk calon pemimpinku yang telah memberikan aku sesuap rupiah di kantongku”. Jawaban itu muncul dari hatinya yang yakin bahwa dirinya tidak akan melakukan kesalahan dan memang ia memikul tanggung jawab untuk memasang apa yang telah diperintahkan atasanya.
“Engkau masihkah diantara kesadaran atau kau hanya melaksanakan karena rupiah telah membungkus kaki dan tanganmu, apakah engkau tidak merasakan bahwa dirimu telah memadamkan kehijauan kota dengan menutupinya dengan wajah-wajah yang belum tentu berperangai mulia”.
“Ya, inilah perebutan kursi kekuasaan dan mereka semua merebutkannya serta tidak ada yang menggalah sebelum perhitungan tercapai kesepakatan. Apakah kau tahu bahwa diriku hanya bisa memanfaatkan momentum ini. Apakah aku bisa duduk di kursi jabatan yang mana aku tidak mengerti hal apa yang menarik di sana. Aku hanya bisa menarik becak kumuh ini.”
Seketika itu pohon-pohon taman kota telah rimbun dedaunan yang berwarna-warni ada yang merah, hijau, kuning, biru pokoknya sangat beragam jenis. Dedaunan itu bahkan saling bersaing dan tidak terjadi kerukunan yang semestinya dijaga untuk satu persatuan.
Namun persatuan itu hanya ditulis dengan berbagai moto kemakmuran dan kesejahteraan bagi mereka yang mau mendukung salah sutu warna. Alangkah indah kegelapan di malam ini yang sangat pekat dan hitam. Hati dan jiwaku seakan menjadi tenang di tengah sinar rembulan yang tidak begitu terang sebab sang rembulan telah di tutupi awan berwarna biru pekat untuk menyelimuti indah sinar cahayanya.
Tidak ada bintang yang menyala. Tidak ada hiasan apa pun di tengah kota ini, yang ada hanya bangunan bertingkat yang megah dengan dinding tembok yang begitu tebalnya. Tidak ada tirai terbuat dari batik dalam negeri, adanya hanya batik demokrasi untuk menentukan kemakmuran bumi pertiwi.
Tidak ada apa…, tapi ada sesuatau yang terlihat sesak disemua tempat di pingir jalan, trotoar, taman kota dan pepohonan dipinggir jalan serta reklame. Poster yang terpajang lebar di angkasa yaitu demokrasi politik.
Kegelisahan hatinya, kupingnya telah terasuki kampanye politik yang melantun penuh melodi kerinduan kemerdekaan. Otaknya telah menjadi samudra yang siap menampung semua hal tentang keluh kesah untuk satu kemenangan. Ini adalah episode baru di tengah kota dan desa. Kalau kota mendeklarasikan untuk satu kemakmuran kekuasaan sedangkan desa tidak taulah. Yang tahu hanya penduduknya, hanya menuruti semua hal yang menjadi kewajibannya sebagai warga negara.
Suatu ketika pernah datang calon pemimpin di desa Pak Kardi. Pemimpin itu sangat berwibawa dengan diiringi mobil-mobil mewah merk luar negeri. Ya, pastilah Indonesia saja hanya tempat memproduksi dan tempat orang yang siap jadi budak untuk berkerja.
Pemimpin itu hanya memakai pakaian batik khas Pekalongan, mungkin ingin menyesuaikan dengan penduduk desa, dia tidak memakai jas berdasi yang biasa digunakan untuk bertemu pejabat dan koleganya. Tapi batik yang menempel ditubuhnya tidak sebagus pakaian yang menutupi tubuh penduduk desa.
Penduduk desa menyambutnya dengan kemeriahan. Tangan pemimpin penuh kecupan lipstik produk kampungan dan bibir-bibir yang ingin mengusap kelembutan tangan calon pemimpinnya yang diakui akan memberikan kemakmuran di desanya.
Suara rebana bertabuh semakin kencang, sekencang suara sirene polisi yang ingin menangkap penjahat. Shalawat badar menyambut, laksana kemenangan didalam peperangan politik.