KEMARIN saya mendapat kiriman buku dari Penerbit Pustaka Jaya di Bandung, Jawa Barat. Judul bukunya sangat menarik “Bus Bis Bas”. Buka ini menjadi pelengkap koleksi saya sebelumnya berjudul “Badak Sunda & Harimau Sunda” dan “Ibu Haji Belum ke Mekah”.
Ketiga buku tersebut kumpulan kolom sastrawan dan munsyi Kang Ajip Rosidi di Harian Pikiran Rakyat dalam rubrik Stilistika yang hadir setiap Sabtu.
Buku ini sangat penting bagi penulis, editor, mahasiswa juga pejabat. Tulisan ini mengajarkan pada kita cara menulis yang baik dan benar. Kendati dalam praktiknya penggunaan bahasa sesuai dengan gaya selingkung masing-masing.
Masalah atau isu yang dibahas sangat sepele tetapi penting agar masyarakat Indonesia menggunakan bahasa dengan baik dan benar dengan tujuan akhir memiliki kebanggaan terhadap bahasa Indonesia. Bahasa yang sangat egaliter dan sangat cocok dengan sistem demokrasi.
Misalnya Kang Ajip memberi contoh bagaimana cara penulisan yang benar: bis, bus, atau bas. Sepertinya sepele. Kemudian menulis “pasca” itu digabung atau dipisah dengan kata di depannya.
Sepertinya memang sangat remeh tetapi memang ada yang tidak tahu tetapi ada juga yang cuek. Persoalan apakah nanti dipraktikkan dalam ranah publik seperti di media massa, itu tergantung gaya di masing-masing media.
Untuk beberapa tulisan di Pikiran Rakyat, Kang Ajip banyak yang tidak setuju. Pikiran Rakyat memiliki gaya selingkung sendiri sehingga Kang Ajip terpaksa tunduk dan menurut. Karena kebijakan itu sudah ditentukan dalam politik bahasa di masing-masing ruang redaksi.
Tempo, Republika, Kompas, Bisnis Indonesia dan Pikiran Rakyat memiliki gaya selingkung masing-masing. Dan itu diputuskan dengan pikiran yang matang tetapi tidak merusak kaidah bahasa justru memperkaya khazanah bahasa.
Namun, ketika kolom tersebut dibukukan. Kang Ajip kembali dengan keyakinan intelektualnya, tulisan dan istilah yang telah diubah oleh redaktur Pikiran Rakyat kemudian dikembalikan ke tulisan semula. Tulisan dengan gaya Kang Ajip Rosidi.
Kang Ajip termasuk sastrawan yang mahiwal. Mungkin di antara sastrawan atau tokoh lainnya memasukkan Kang Ajip sebagai sosok keras kepala dengan keyakinan dan argumennya. Karena itu Kang Ajip sering terlibat polemik dengan sejumlah intelektual.
Kang Ajip misalnya sempat mengembalikan penghargaan Habibie Award dari The Habibie Center karena tidak setuju dengan penghargaan yang sama diberikan kepada Prof. Dr. Herlina Lubis, guru besar sejarah Unpad, karena dianggap sejumlah karyanya terindikasi plagiarism.
Kang Ajip yang sudah menggeluti sastra sejak bangku SMP dan tak pernah lulus SMA, lebih memilih tinggal di Pabelan, Magelang, Jawa Tengah, setelah pensiun jadi dosen di Jepang. Kenapa tidak tinggal di Bandung atau di tanah kelahirannya Majalengka? Alasannya sangat unik, “biar ada jarak dalam mengkritisi Sunda”.
Persamaan Anies Baswedan dan Kang Ajip
Sekilas tidak ada hubungannya antara Anies Baswedan dengan Kang Ajip. Kendati tempat kelahiran Anies di Kuningan berdekatan dengan asal Kang Ajip di Jatiwangi, Majalengka.
Persamaan yang sebenarnya adalah soal ide dan konsep. Keduanya sama-sama mengakui pentingnya buku, sastra, menulis, membaca dan perlunya pusat kebudayaan yang representatif.
Anies adalah pencinta buku, gila baca dan sangat peduli dengan simpul-simbul kebudayaan. Itu dituangkan dengan revitalisasi Taman Ismail Marzuki (TIM) termasuk menyelamatkan harta karun Pusat Data Sastra HB Jassin. Kemudian menyediakan taman-taman bacaan di pusat keramaian warga.
Jauh sebelumnya ketika menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies menganggarkan dana sampai Rp146 miliar untuk menerjemahkan buku-buku sastra dan karya-karya sastrawan serta budayawan Indonesia ke dalam sejumlah bahasa untuk dipamerkan di Frankfurt Book Fair 2015.
Ohya, TIM yang kini dibangun kembali saat Anies menjabat gubernur DKI Jakarta, juga ada andil Kang Ajip Rosidi. Kok bisa?
Ya, Kang Ajip dan sastrawan Ramadhan KH serta pelukis Illen Surianegara sangat dekat dengan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin. Ikatan primordial, sama-sama asli Sunda.
Suatu hari Kang Ajib bersama sohibnya itu diajak keliling Jakarta oleh Ali Sadikin. Saat melewati kawasan Senen, Ali Sadikin bertanya kemana para seniman setelah Planet Senen digusur. Kang Ajip menjawab bahwa mereka kini berpencar, keleleran dan tak punya tempat lagi. Dari perjalanan itulah Ali Sadikin memutuskan untuk membangun gedung kesenian di Cikini yang sebelumnya bekas Kebun Binatang yang direlokasi ke Ragunan.
Di sinilah antara Anies dan Kang Ajip memiliki keterkaitan ide, intelektual dan sejarah.
Dalam buku “Bus Bis Bas” ada salah satu tulisan yang membahas tentang perlunya penerjemahan buku-buku asing bila bangsa Indonesia ingin segera menjadi bangsa yang maju. Sebelum meninggal, Kang Ajip berharap ada kebijakan seperti Restorasi Meiji yang sangat masif menerjemahkan buku asing sehingga Jepang menjadi seperti sekarang.
Mengimbuhi harapan Kang Ajip, saya berharap bila Anies menjadi presiden penerjemahan buku dilakukan secara masif. Bila sebelumnya menerjemahkan buku berbahasa Indonesia ke bahasa asing kini saatnya Anies membuat kebijakan menerjemahkan sebanyak-banyak buku bahasa asing ke bahasa Indonesia.
Di sinilah relevansinya Restorasi Meiji, Restorasi Partai Nasdem dan mungkin nanti lahir Restorasi Anies Baswedan. [rif]