Oleh: Khairul Fahmi, (Penggiat Literasi, berdomisili di Jakarta)
Aku mulai tahu kata “pemilu” itu sejak tahun 1982. Bukan karena sudah terdaftar sebagai pemilih, tapi karena berkaitan dengan pemberian nama adikku yang baru saja dilahirkan.
Usiaku waktu itu baru 7 tahun. Nenekku bilang, “Fahemi, adeklu kan lahirnya pas pemilu. Namain aja Sarmilih”. Aku tidak menimpali karena masih kecil. Itulah kebiasaan orang tua dulu kadang memberi nama anak sesuai dengan kejadian yang membersamai kelahiran bayi. Oleh orang tuaku, bayi yang lahir saat pemilu itu diberi nama “Abdul Rahman”.
Saat itu aku baru mendengar kata “pemilu”, tapi belum mendengar kata “partai”. Aku baru mendengar dan tahu kata “partai” itu tahun 1987, di usiaku yang ke 12. Tahun itu adalah pemilu Orde Baru yg keempat kalinya. Pemilu saat itu diikuti oleh peserta, yaitu PPP nomor urut 1, Golongan Karya, dan PDI nomor urut 3.
Di antara tiga kontestan pemilu itu, PPP sangat aku kenal, karena keluargaku pemilih fanatik partai berlambang ka’bah. Singkat cerita, sekalipun keluargaku fanatik terhadap PPP sampai dengan Orde Baru tumbang aku tidak pernah berpartisipasi menjadi pemilih, termasuk memilih PPP, alias Golput.
Alasan aku Golput, karena aku tidak punya pilihan. Golkar adalah partainya penguasa Orde Baru. PDI bukan partai Islam sekalipun kritis terhadap Orde Baru. PPP sudah tunduk kepada Penguasa Orde Baru.
Aku mulai mau mencoblos saat pemilu tahun 1999. Partai yang aku coblos adalah PAN. Faktor Amien Rais sebagai Bapak Reformasi menjadi daya tarik buatku.
Pada pemilu legislatif tahun 2004, pilihanku bergeser ke Partai Bulan Bintang (PBB). Faktornya karena seniorku di HMI Pengurus Partai ini. Hanya saja menjelang pemilihan presiden aku mulai tertarik aktif dalam kegiatan pengajian (liqo’) PKS. Faktornya karena aku beranggapan Partai ini modern, dan sangat merakyat. Ditambah Partai ini masuk koalisi partai-partai yang mengusung Amien Rais sebagai calon presiden, melawan Susilo Bambang Yudhoyono. Tapi betapa terkejutnya, ternyata kader-kader di bawah banyak yang tidak memilih Amien Rais. Saat pencoblosan aku mendengar sendiri ustdzah yang memimpin liqo berkata, “jangan pilih si Amien”. Aku membatin, “kok begini ?”.
Hasilnya, di putaran pertama SBY mengungguli suara paslon lainnya. PKS pindah haluan menjadi pendukun paslon SBY-JK. Hasilnya pasangan ini menang. PKS masuk kabinet.
Aku yang baru saja ikut mengaji, tapi belum tercatat sebagai anggota dan kader PKS, mundur dengan teratur. Tidak ikut liqo lagi, dan tetap memilih paslon Amien Rais dan Siswono Yudhohusodo. Pikirku aku tidak bisa aktif di sebuah institusi yang bermuka dua seperti ini.
Setelah itu aku Golput setiap pemilu. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk mencoba aktif di PBB menjelang pemilu tahun 2014. Karena saat itu aku melihat ada harapan perubahan pada paslon Prabowo-Hatta Rajasa. Pada pemilu tahun 2014 itu PBB ada di barisan koalisi Prabowo-Hatta Rajasa. Sikap politikku saat itu, yang penting bukan Jokowi. Feelingku aku mengendus ketidakberesan pada orang ini. Padahal saat itu banyak orang mengelu-elukan sebagai sosok pembawa perubahan, merakyat, dan kemajuan.
Sebagai Ketua partai yang berseberangan dengan koalisi partai penguasa, tahun 2018 Yusril terlihat gagah dengan orasi-orasi penentangan kepada Jokowi. Jauh sebelumnya, sering sekali YIM mengkritik pemerintahan Jokowi. Saat itu aku bangga menggunakan atribut partai Bang Yusril ini.
Aku, dan bukan cuma aku barang kali. Para simpatisan dadakan PBB terkejut begitu elit partai yang dinahkodai Bung Yusril memutuskan masuk partai koalisi pengusung paslon Jokowi Ma’ruf pada pemilu tahun 2019. Karena kecewanya, kaos PBB pemberian senior aku lemparkan aku jadikan lap kaki. Padahal kaos bagus, tebal. Sepertinya limited edition.