Scroll untuk baca artikel
Kolom

Anies versus Kompas, Siapa yang Dipermalukan?

Redaksi
×

Anies versus Kompas, Siapa yang Dipermalukan?

Sebarkan artikel ini

SURAT kabar Kompas selama ini identik dan menjadi benchmark dalam nilai, etika dan kredibilitas jurnalistik di Indonesia. Ketika seorang peneiliti atau mahasiswa jurnalistik membuat skripsi, Kompas selalu dihadapkan secara frontal antara Kompas-Republika, Kompas-Jawa Pos atau Kompas-Media Indonesia. Kompas dikenal memiliki gatekeeper yang sangat ketat termasuk dalam menjaring sumber daya manusia.

Kompas dianggap memiliki mutu dan standard tinggi. Namun setelah ditinggal pendirinya almarhum Jakob Oetama, perlahan nilai itu luntur dan yang paling mutakhir terlihat ketika memajang foto Gubernur Anies Baswedan di luar konteks.

Artikel setengah halaman Kompas yang membuat kegaduhan di kalangan netizen itu dimuat pada 8 September 2022 dengan judul “Korupsi Bukan Lagi Kejahatan Luar Biasa”.

Tulisan ciri khas Kompas seperti biasa panjang dan bertele-tele. Jauh dari gaya jurnalisme sastrawi The New Yorker atau jurnalisme eskplanasi Vox.com. Intinya tulisannya biasa saja, hanya kompilasi dan sedikit analisis dari sebuah karya keroyokan wartawannya.

Namun yang membuat pembaca terusik dan jengkel adalah ilustrasi foto dalam artikel tersebut. Tulisan berbusa-busa membahas tentang pembebasan bersyarat 23 narapidana tipikor. Di sana juga dipajang daftar nama napinya. Tapi kenapa ilustrasinya memakai foto Anies Baswedan pakai jaket hitam yang terlihat siluet dari balik kaca?

Padahal tema tulisannya tentang pembebasan bersyarat napi tipikor. Tidak membahas tentang saksi atau tersangka yang tengah diperiksa KPK. Tapi sepertinya ada yang dipaksakan agar foto Anies tetap bisa dipajang maka di bagian akhir ada cerita tentang Anies yang telah diperiksa KPK sebagai saksi dalam dugaan korupsi Formula E.

Bagian tiga alinea di akhir tulisan yang berbicara tentang Anies tersebut jelas terlalu liar dan melompat jauh. Artinya tulisan telah mengkhianati topik utama. Pemberian sub judul “Gubernur DKI Jakarta Diperiksa” semakin mempertegas pemaksaan tulisan tersebut ‘harus dimuat’.

Dalam ilmu jurnalistik tulisan yang paling akhir dianggap sebagai bagian yang kurang atau tidak penting. Kecuali itu tulisan opini, narasi, feature atau sastrawi. Tapi kalau tulisan Kompas itu masih dalam kategori berita. Jadi tulisan tentang Anies di bawah adalah bagian yang tidak penting jadi redaktur atau editornya bisa memotongnya. Karen kurang dan tidak penting maka logikanya tidak nyambung dengan pemasangan foto.

Bila pemasangan foto tulisan tersebut bukan karena kesengajaan dan kekhilafan, maka ilustrasi yang tepat tersebut adalah grafis tentang koruptor yang bebas bersyarat atau foto-foto para koruptor bisa juga tabel atau daftar nilai uang yang dikorupsi oleh para napi tipikor tersebut.

Menyikapi pemuatan foto tersebut Anies pun bertabayun ke Pimpinan Kompas. Mengklarifikasi. Tidak bereaksi berlebihan. Dan ini cara elegan Anies seperti ketika ‘dirugikan’ majalah Tempo dengan kover Anies yang berlumuran lem Aibon. Justru Anies memuji pers, menyanjung Tempo dan juga bercerita ikut demonstrasi ketika Tempo dibredel rezim Orde Baru.

Pun, saat Anies menanggapi foto dirinya dipajang di artikel yang masuk kategori ‘jakasembung’ alias nggak nyambung antara konten dan ilustrasi di Kompas.

“Media memang memiliki kekuatan besar dalam membentuk persepsi, opini dan perasaan pembacanya. Karena memiliki kekuatan besar inilah maka media harus memiliki tanggung jawab yg besar pula,” tulus Anies dalam akun pribadinya.

“Media sebagai pilar demokrasi bukannya tidak boleh berpihak. Sebaliknya, ia justru harus berpihak, pada kebenaran, keadilan, dan objektivitas. Tanggung jawab media memang berat, karena risiko dampak salah langkahnya pun besar,” tambahnya.