Scroll untuk baca artikel
Kolom

Anomali Perilaku Umat di Bulan Ramadhan

Redaksi
×

Anomali Perilaku Umat di Bulan Ramadhan

Sebarkan artikel ini

Ketujuh, bulan ramadhan dapat menjadi instrumen pembentukan sifat dan perilaku positif, kreatif dan inovatif. Hal ini bukan hanya aktivitas yang berkaitan dimensi transendental, seperti  membaca Al-Qur’an, ahalat malam, zikir dan sebagainya. Juga terkait dengan aktivitas non transendental, seperti sektor ekonomi kreatif dan produktif. Termasuk dalam penggunaan teknologi digital atau gadget untuk berbagai kebutuhan umat manusia.

Perilaku Anomali

Problematikanya seperti biasa dan lumrah terjadi pada diri sebagian umat adalah terjadinya anomali. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata anomali dapat diartikan dengan sebuah ketidaknormalan, keganjilan, keanehan, atau penyimpangan dari keadaan biasa (normal) yang berbeda dari kondisi umum suatu lingkungan. Anomali juga sering disebut sebagai suatu kejadian yang tidak bisa diperkirakan sehingga sesuatu yang terjadi akan berubah-ubah dari kejadian biasanya. (https://id.wikipedia.org).

Anomali terjadi di pelbagai aspek kehidupan. Secara umum dapat diformulasikan dalam frasa bahwa “makna transendensi atau makna esoteris dari bulan ramadhan belum sepenuhnya terwujud perilaku secara nyata dalam kehidupan keseharian umat pada aspek eksoteris, modernitas, liberalitas, humanitas, dan sebagainya”.

Prilaku anomali,  meminjam pendapat  Haedar Nashir,  ibarat dramaturgi, sesuatu yang semu laksana permainan sandiwara di panggung. Mirip dramaturgi, Erving Goffman dalam Presentation of Self in Everyday Life (1959).  Dimana  seseorang akan menampilkan presentasi diri di depan pentas yang serba-termanipulasi, baik diri maupun segala aksesorinya, sehingga memuaskan penonton atau khalayak umum. Sementara, di belakang panggung, semua drama di pentas itu diatur dan dimanipulasi sedemikian rupa, yang tentu saja kata Nashir lagi,  publik tidak mengetahui perangai yang sesungguhnya.

Bentuk-bentuk nyata dari anomali di bulan ramadhan adalah belum sepenuhnya terjadi kesepadanan antara kemeriahan dalam mensikapi bulan ramadhan dengan kedalaman, penghayatan dan perilaku nyata sebagian umat. Contohnya,  seperti  diilustrasikan Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Biyanto, yakni: pertama prilaku boros dan konsumtif melalui kebisaan suka berbelanja secara berlebihan saat ramadhan.  Kedua perilaku tidak sabar. Ketiga, perilaku bermalas-malasan dengan alasan berpuasa.

Metafora lainnya untuk melukiskan masih terlalu menguatnya ritualitas umat di bulan ramadhan bisa ditambahkan dengan begitu cepatnya terjadi degradasi dalam frekuensi  melaksanakan shalat tarawih atau shalat subuh berjamaah di masjid. Bila di sekitar dua puluh hari di bulan ramadhan masjid penuh dengan jamaah, maka  di sepuluh hari akhirnya justeru umat ‘menyemut’ di pasar modern atau tradisional untuk memenuhi berbagai kebutuhan jelang dan saat Lebaran.

Oposisi Terbuka
Kolom

Puasa Ramadhan adalah jeda spiritual