Scroll untuk baca artikel
Ekonomi

Apa yang Terjadi Kalau Pajak Benar Naik?

Redaksi
×

Apa yang Terjadi Kalau Pajak Benar Naik?

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CORencana pemerintah menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPn) dari 10 persen menjadi 15 persen banyak menuai kritik. Salah satunya dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Ketua Departemen Ekonomi & Pembangunan, Bidang Ekonomi & Keuangan (EKUIN) DPP PKS Farouk Abdullah Alwyni mengatakan kenaikan PPn akan sebabkan ketimpangan yang lebih lebar.

Farouk menjelaskan, masyarakat menengah atas, yang menurut estimasi Bank Dunia hanya sekitar 20-25 persen dari penduduk Indonesia, justru tidak terlalu bermasalah dengan kenaikan PPn. Tetapi kelompok ini tentunya akan mengurangi konsumsi mereka.

“Sementara bagi sebagian besar masyarakat yang masuk kategori aspiring middle class, vulnerable, dan di bawah garis kemiskinan, kehidupan akan menjadi semakin sulit. Kenaikan PPn dapat picu kenaikan harga barang dan jasa. Kelompok miskin akan semakin tertekan daya belinya, dan secara umum kebijakan menaikkan PPn hanya akan memperburuk ekonomi kita.” Kata Farouk Alwyni, Kamis (27/5/2021).

Menurut mantan profesional senior Islamic Development Bank (IDB) Jeddah ini, hubungan langsung antara pajak dan daya beli menjadi penting. Pajak mempunyai contractionary effect dan dapat menekan pertumbuhan ekonomi. Pajak yang tinggi dapat mengurangi pendapatan negara, karena hal tersebut akan mengurangi daya beli dan investasi.

“Berkaca dari pertumbuhan ekonomi triwulan I-2021, sumber kontraksi banyak disumbang konsumsi rumah tangga yang tumbuh negatif 2,23% secara tahunan. Lihat, bahkan dengan pajak yang sekarang sebesar 10% saja, konsumsi sudah demikian tertekan. Apalagi kalau pajak dinaikkan jadi 15%,” kata Farouk.

Jika rencana kenaikan pajak disetujui DPR, Farouk menilai itu justru melahirkan dampak domino yang merusak. Daya beli yang rendah akan berdampak negatif terhadap semangat berinvestasi dari pengusaha serta perusahaan,  hal ini tentunya akan berdampak terhadap pembukaan lapangan kerja, dan pada gilirannya penurunan lapangan kerja akan menurunkan tingkat pendapatan masyarakat, yang pada akhirnya akan mengurangi penerimaan negara itu sendiri.

Tak berhenti di situ, pajak yang semestinya bisa difungsikan sebagai instrumen pemerataan pendapatan, justru akan memperlebar ketimpangan si kaya dan si miskin.

“Jadi hendaknya Kementerian Keuangan jangan hanya sekadar menggunakan logika kejar setoran seperti halnya debt collector penerimaan negara, tetapi juga bisa berpikir lebih luas terkait dampak ekonomi dari kenaikan pajak,” kata Farouk Alwyni.

Farouk juga menegaskan, pemerintah sebaiknya tidak kehilangan semua jenis empati terhadap kelompok yang paling ‘tertinggal’ dalam merumuskan rencana kebijakan. Bagaimanapun PPn akan memengaruhi harga akhir di tangan konsumen. Baik itu konsumen kaya atau miskin, masing-masing perlu menambah biaya dari semula 10% menjadi 15% dari total belanja.

“Kelompok miskin akan lebih terpukul lantaran daya belinya belum pulih akibat pandemi Covid-19. Program bansos yang diuntukkan pada mereka pun sejauh ini masih ditemukan banyak kasus, mulai dari bansos salah sasaran, mekanisme penyaluran yang kacau, dan pengawasan yang masih lemah sehingga rentan terjadi korupsi,” kata Farouk.

Maka menurut Farouk, rencana menaikkan PPn dirasa tidak tepat. “PPn baiknya jangan naik karena sangat kontraproduktif. Otoritas fiskal perlu lebih kreatif dari itu. Adapun kalau terpaksa naik, ada metode yang bisa dioptimalkan dengan misalnya menaikkan pajak terhadap barang-barang luxury atau barang yang mempunyai dampak negatif seperti minuman keras, rokok, dan yang seperti itu.”