Telah lama pemikiran tentang kehidupan dikuasai oleh gagasan saintek. Kredo paling terkenal, yang tentunya sudah Anda kenal, berbunyi bahwa: teknologi memudahkan hidup manusia. Pertanyaannya mengapa gerangan gagasan saintek ini demikian dominan?
Pada 1853, seorang jurnalis Democratic Review memprediksi kemajuan teknologi (pada masa itu sebatas listrik dan mesin) akan mengubah hidup begitu rupa. “Laki-laki dan perempuan tidak bakal lagi punya urusan merepotkan, atau kewajiban berat untuk diselesaikan. Mesin akan mengerjakan semuanya … Satu-satunya tugas manusia hanyalah bercinta, belajar, dan berbahagia.” Dikutip dalam Easterlin: Does economics growth improve the humat lot.
Apa yang terjadi adalah apa yang kita lihat dan rasakan. Teknologi sudah pesat, tapi kita tidak lebih puas dan bahagia dari puluhan tahun lalu. Teknologi rupanya membawa masalah inheren yang membuat hidup kita makin pelik, dengan bertambahnya permintaan rasa aman, kerumitan, dan lain-lain terutama jam kerja yang lebih panjang dari sebelumnya.
Pada 1930 John Maynard Keynes malah sempat memprediksi, berkat teknologi, masyarakat industri akan bekerja maksimal 15 jam dalam seminggu pada 2030. Dalam pada itu sejarah mencatat lain. Hari ini, 2020, di Indonesia, diketahui industri kita mengeksploitasi buruh untuk bekerja selama 40 jam dalam seminggu.
Akhir tahun lalu, 2019, salah satu utusan kapitalis bahkan mengusulkan jam kerja di Indonesia ditambah menjadi 48 jam seminggu. Memang ada benarnya produktivitas akan naik jika jam kerja ditambah. Namun, Anda tahu, fungsi matematis tidak pernah berdampak linear. Dan beruntungnya ide gila nan vulgar yang—tidak sesuai UU No 13 Tahun 2003 dan—disponsori Asosiasi Pengusaha itu berhasil diredam.
Tapi, tiba-tiba negara datang mensponsori RUU omnibus law. RUU itu membuka peluang bagi pengusaha untuk dapat memberlakukan waktu kerja yang melebihi ketentuan yang diatur undang-undang.
Pada RUU Cipta Kerja tidak lagi mengatur waktu kerja 7 jam sehari (40 jam/minggu) untuk enam hari kerja, dan 8 jam sehari (40 jam/minggu) untuk lima hari kerja. Dalam omnibus law tidak ada lagi ketentuan soal 6 dan 5 hari kerja seperti UU No 13 Tahun 2003. Ia hanya menyebut waktu kerja paling lama 8 jam sehari dan 40 jam seminggu.
Masalahnya, karena tidak ada batasan hari, bisa saja buruh dipekerjakan 10 jam dalam sehari selama 4 hari. Asalkan totalnya 40 jam—Atau sebaliknya bisa saja buruh hanya dipekerjakan 4 jam sehari (kurang dari 8 jam), dan upahnya dibayar per jam atau berdasarkan waktu.
Mungkin untuk sementara, bisa disimpulkan bahwa ada kenyataan yang tidak sederhana, di balik kredo “teknologi memudahkan hidup manusia”. Pada satu soal saja, yakni waktu, tampak teknologi menguras waktu yang sebetulnya bisa kita manfaatkan untuk mencari kebahagiaan dalam hidup.
Mau membahas bagaimana teknologi merenggut kemesraan orangtua dan anak? Urusannya bisa lebih panjang. Yang jelas sekarang, kita telah merasakan betapa teknologi terakselerasi lebih cepat. Apalagi semenjak pandemi Covid-19 merebak.
Aplikasi berbasis teknologi seperti Zoom, misalnya, kini menjadi ikon popular. Semua orang memanfaatkannya. Teman saya, sebutlah namanya Rahmatika Dewi, setiap hari mengisi waktu paginya dengan rapat daring keperluan kantor. Lalu siangnya mengikuti webinar. Dan sore hari ia mengikuti webinar, lagi. Ia mengulang kegiatan itu dari hari ke hari sampai suatu saat ibunya menceletuk, “Hidup kok habis cuma buat lihat komputer sama baca handphone!”
Jadi, apakah seharian melihat layar pc dan hp itu sesuatu yang bernilai? Saya yakin sebagian besar Anda menjawab tergantung sudut pandang. Dan ini mungkin satu dari saya: teknologi telah merenggut banyak waktu kita yang amat bernilai. Dikehendaki atau tidak, dengan permisi atau diam-diam. []