Oleh: Awalil Rizky*
BARISAN.CO – Realisasi APBN 2020 hingga akhir November dilaporkan tekor atau defisit sebesar Rp834 triliun. Belanja Negara telah sebesar Rp2.307 triliun, yang melampaui Pendapatan Negara yang hanya sebesar Rp1.423 triliun. Akan tetapi, dana kelolaan APBN justeru sedang kelebihan.
APBN selalu direncanakan tanpa ada kelebihan atau kekurangan pembiayaan. Besaran pembiayaan persis sama dengan defisit yang akan ditutupinya.
Akan tetapi, dalam realisasi sering menimbulkan sisa lebih atau kelebihan pembiayaan secara tahunan. Dalam realisasi akumulatif pada akhir bulan pun hampir selalu kelebihan.
Sederhananya, karena sudah direncanakan defisit atau tekor, maka dicarilah sumber dana untuk membiayainya. Sesuai yang ditetapkan dalam APBN, sebagian besarnya diperoleh dari utang. Dalam praktik kelolaan, berutang dilakukan terlebih dahulu agar tersedia dana. Setidaknya lebih banyak dari realisasi akumulasi defisit hingga bulan bersangkutan.
Bisa dimengerti sebagai kehati-hatian dalam mengelola arus kas negara. Tidak terbayangkan, jika tak tersedia dana pada waktu harus membayar gaji pegawai atau kewajiban yang amat segera.
Selama periode tahun 2005 sampai dengan tahun 2019, realisasi APBN cenderung mengalami kelebihan pembiayaan.
Hanya pernah terjadi kekurangan pembiayaan pada tahun 2005 dan tahun 2007. Kelebihan sangat besar terjadi pada tahun 2008 yang mencapai Rp80 triliun. Terbesar kedua terjadi pada tahun 2019, yang mencapai Rp53 triliun.
Secara rerata, selama periode 2005-2009 dialami kelebihan sebesar Rp18,30 triliun per tahun. Sebesar Rp32,22 triliun pada periode 2010-2014. Dan sebesar Rp33,21 triliun pada periode 2015-2019.
Secara teknis akuntansi, kelebihan atau kekurangan itu disebut sebagai SiLPA atau SiKPA. Yaitu selisih lebih atau kurang antara realisasi pendapatan dan belanja, serta penerimaan dan pengeluaran pembiayaan dalam APBN selama satu periode pelaporan.
Kelebihan pembiayaan pada satu tahun anggaran tidak otomatis dapat dipakai atau dimasukkan ke dalam APBN tahun berikutnya. SiLPA masuk dahulu ke dalam akun akumulasi yang disebut sebagai Saldo Anggaran Lebih (SAL).
Penggunaan SAL dalam suatu tahun anggaran harus melalui mekanisme penetapan APBN. Besarannya tidak secara langsung berhubungan dengan SiLPA tahun anggaran sebelumnya.
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2019 melaporkan tentang perubahan SAL. Antara lain disajikan bahwa saldo awal, artinya dari 1 Januari 2019 yang pindahan akhir tahun 2018, sebesar Rp175,24 triliun. Selama tahun 2019 dipergunakan sebesar Rp15 triliun.
SiLPA dari realisasi APBN 2019 sebesar Rp539 triliun. Penyesuaian SAL sesuai aturannya sebesar Rp0,94 triliun. Dengan demikian, pada akhir tahun 2019 terdapat saldo SAL sebesar Rp212,69 triliun.
Saldo SAL akhir tahun 2019 itu sekaligus merupakan saldo awal tahun 2020. LKPP melaporkan bahwa dananya tersimpan pada beberapa akun. Di antaranya yang terbanyak berada pada saldo akhir Kas Bendahara Umum Negara (BUN) sebesar Rp151,41 triliun.
Pada saldo akhir Kas pada Badan Layanan Umum (BLU) yang sudah disahkan sebesar Rp56,55 triliun. Pada saldo Akhir Kas di Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) sebesar Rp2,89 triliun.
Sejauh ini, SAL tidak dipergunakan pada setiap tahun anggaran. Sebagai contoh, SAL dipakai sebesar Rp15 triliun pada tahun 2019. Namun, tidak dipakai sama sekali pada tahun 2017 dan tahun 2018. Pada APBN 2020 sebelum revisi, rencananya SAL akan dipakai sebesar Rp25 triliun. Perubahan APBN melalui Perpres No.72/2020 merevisi besarannya menjadi Rp70,64 triliun.