أَفَلَمْ يَسِيرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَآ أَوْ ءَاذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا ۖ فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى ٱلْأَبْصَٰرُ وَلَٰكِن تَعْمَى ٱلْقُلُوبُ ٱلَّتِى فِى ٱلصُّدُورِ
Artinya: “Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (QS. Al-Hajj: 46).
Kebersihan hati menciptakan ruang bagi rasa syukur dan apresiasi terhadap keindahan dunia ini. Ketika seseorang memiliki hati yang bersih, ia mampu berkontribusi secara positif dalam mengatasi tantangan lingkungan, seperti perubahan iklim dan kerusakan alam.
Dengan memadukan upaya menjaga kebersihan lingkungan dan hati, manusia dapat menciptakan dunia yang lebih baik, di mana kesejahteraan alam dan harmoni batin saling bersinergi untuk mewujudkan kehidupan yang bermakna.
Lantas bagaimana menjaga kebersihan hati? Jika menjaga kebersihan lingkungan dicontohkan sebagaimana yang telah dijelaskan diatas yakni dengan mempergunakan sumber daya alam secara bertanggung jawab maupun membuang sampah pada tempatnya.
Sedangkan menjaga kebersihan hati, tentu lebih mendekatkan diri kepada Allah Swt. menjaga kebersihan lingkungan menjadi bagian integral dari kebersihan hati.
Imam Al-Ghazali memberikan pesan penting untuk menjaga kebersihan hati melalui berbagai amalan ibadah yakni menjaga kebersihan hati, lisan, dan perbuatan. Adapun amalan tersebut seperti menyegerakan ibadah wajib yang diimbangi memperbanyak ibadah sunnah.
Selain itu memperbanyak amalan zikir dan membangun kesalehan sosial. Oleh karena mengamalkan dan berjalan pada garis kebaikan akan menuntuk kepada jiwa yang tentram atau jiwa yang tenang. Hati, pikiran dan perbuatan dipenuh rasa cinta dan ingat kepada-Nya. []