Selama sepuluh tahun terakhir, meskipun pemerintah telah berupaya menciptakan lapangan kerja, jumlah pengangguran di Indonesia justru bertambah, mengindikasikan kegagalan dalam mencapai target yang ditetapkan dalam RPJMN.
BARISAN.CO – Dalam sepuluh tahun terakhir, peningkatan jumlah pengangguran menjadi isu krusial di Indonesia, terutama di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Berdasarkan analisis ekonom Awalil Rizky dari Bright Institute, meskipun ada penurunan persentase pengangguran, jumlah total pengangguran justru bertambah secara signifikan.
Pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, tingkat pengangguran ditargetkan turun secara bertahap setiap tahun.
Namun, realisasi tidak sesuai dengan target yang ditetapkan. Misalnya, pada tahun 2015, tingkat pengangguran ditargetkan 5,65%, tetapi realisasinya mencapai 6,18%. Hingga tahun 2019, target menurun menjadi 4,5%, tetapi realisasinya hanya turun ke 5,28%.
Pada periode kedua Jokowi, RPJMN 2020-2024 menargetkan penurunan tingkat pengangguran menjadi 3,6–4,3% pada tahun 2024. Sayangnya, hingga Agustus 2023, tingkat pengangguran masih berada di angka 5,32%, dan jumlah pengangguran justru bertambah 0,62 juta orang dibandingkan tahun 2014.
Berdasarkan proyeksi, hingga Agustus 2024, jumlah pengangguran hanya akan kembali ke kondisi tahun 2014, tanpa ada penurunan yang signifikan.
Selama era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), jumlah pengangguran berhasil dikurangi hingga 3,01 juta orang pada periode 2004-2014.
Sementara itu, pada era Jokowi, meskipun ada penurunan tingkat pengangguran sebesar 0,62% poin, jumlah total pengangguran tidak berkurang secara signifikan seperti era sebelumnya.
Dalam sebuah rapat dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Menteri Keuangan Sri Mulyani membanggakan penciptaan lapangan kerja sebanyak 21,3 juta orang selama pemerintahan Jokowi.
Namun, menurut Awalil Rizky, data tersebut hanya menunjukkan bahwa lapangan kerja yang tercipta hanya mampu menampung tambahan angkatan kerja baru, sehingga jumlah pengangguran tetap bertahan.
Salah satu faktor penyebab kurang optimalnya penciptaan lapangan kerja adalah ketergantungan sektor pertanian yang rendah pertumbuhannya.
Pada Agustus 2023, jumlah pekerja di sektor pertanian masih mencapai 39,45 juta orang, lebih tinggi dari 38,97 juta pada Agustus 2014.
Padahal, pertumbuhan sektor ini hanya 2,76% per tahun, lebih rendah dari rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional. Akibatnya, sektor pertanian dipaksa menampung pekerja yang tidak terserap di sektor lain.
Selain itu, peningkatan jumlah pekerja berstatus “berusaha sendiri”, yang mayoritas mencerminkan usaha skala mikro dengan kondisi pekerjaan yang kurang layak, juga menjadi perhatian.