Lahu ma fis-samawati wa ma fil-ardh, milik Allah semua yang di langit dan bumi. “Kita butuh air, butuh apa saja, dan itu milik Allah. Dan kita senang, alam semesta ini milik Allah, dzat yang tidak membutuhkan alam. Allah menciptakan air, Allah tak minum. Allah mencipta dan menumbuhkan padi, Allah tak makan. Ia membikin semuanya itu untuk kita, kita yang memanfaatkannya.” Begitu ungkap Gus Baha.
“Bayangkan!” lanjut sang ulama asal Rembang itu. “Jika alam semesta ini dimiliki oleh segelintir dari kita, pasti apa pun kita harus membelinya. Betapa repot akhirnya. Namun, berhubung alam semesta ini milik Allah, maka kita nyaman. Hidup kita jadi tenang bersama dzat yang super dermawan, super segalanya. Tidur kita pun nyenyak.”
Lalu, man dzal-ladzi yasfa’u ‘indahu illa bi-idznihi, tak satu pun yang mampu memberikan pertolongan kecuali atas izin-Nya. Lantaran Allah yang mencipta, konsekuensi logislah, bahwa yang punya otoritas syafa’at dan otoritas apa pun, itu berkat perkenan Allah.
Ya’lamu ma baina aidihim wa ma khalfahum, Ia Mahatahu segala yang ada di depan dan yang di belakang mereka. Sehingga, betapa nyamanlah akhirnya kita, yang berasa selalu dalam pengawasan-Nya.
Gus Baha mendetailkan penjelasan, “Bagaimana jadinya sekira yang lemah macam kita ini tidak dalam pengawasan Allah. Sebagai misal, kita punya anak kecil. Tentu sang anak akan merasa tak nyaman bermain, selagi kita tak melihatnya. Karena dia tahu, ada hal-hal yang tak bisa ia capai, dan ia butuh kita untuk membantu mencapainya.
Jadi anak kecil itu suka bermain, dan senang jika kita perhatikan. Pun demikian kita, berasa bahagia, berada dalam kampung dunia, yang milik Allah, dan Ia benar-benar memperhatikan kita, bahkan mengerti kebutuhan kita.”
Lantas, wa la yuhithuna bisyai’im min ‘ilmihi illa bima sya, tidak ada yang dapat meraih sebagian ilmu-Nya kecuali atas izin-Nya. Betapa kita tak akan berilmu, kecuali dengan kadar yang dikehendaki Allah. Betapa kita ini akan selalu sebagai objek, memperoleh ilmu juga berkat Allah. Mendapat rezeki, juga karena Allah. Singkatnya, kita adalah makhluk, berstatus penerima. Sementara Allah adalah khalik, sang pemberi.
Berikut, wasi’a kursiyuhus samawati wal-ardh, singgasana-Nya mencakup langit dan bumi. Wa la ya’uduhu hifzuhuma wa huwal ‘aliyyul ‘azim, ketika alam semesta sedemikian besar ini, ternyata Allah tidak pernah lelah mengurusinya.
“Semenjak Adam hingga sekarang, matahari itu ajek begitu. Terbit dari sebelah timur, dan tenggelam di sebelah barat. Masih tetap aman hingga saat ini, belum ada kerusakan. Padahal PLN saja tidak bisa menjamin dalam setahun tak ada gangguan atau kerusakan jaringan listrik. Kalian tak pernah memikirkan hal ini bukan? Ya, memang bukan wali sih.” jelas Gus Baha, dibarengi serempak tawa dari jamaah.






