Scroll untuk baca artikel
Blog

Bahaya Diskriminasi Usia bagi Pekerja yang Lebih Tua

Redaksi
×

Bahaya Diskriminasi Usia bagi Pekerja yang Lebih Tua

Sebarkan artikel ini

“Usia kita bekerja melawan kita, seperti halnya jenis kelamin, dan kita tidak bisa menerima omong kosong ini.”Bonnie Marcus (Pelatih Eksekutif dan Penulis)

BARISAN.CO – Tak jarang, banyak masyarakat yang kesulitan mendapatkan pekerjaan di saat perusahaan menetapkan batas maksimal usia pelamar. Begitu juga, kala pengurangan karyawan, pekerja tua umumnya lebih sering masuk daftar PHK atau ditawarkan untuk mengundurkan diri.

Padahal, sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 13 Tahun 2003 pasal 5 tertulis bahwa setiap pelamar kerja mempunyai hak yang sama dalam setiap kesempatan untuk memperoleh pekerjaan tanpa diskriminasi. Pemerintah pun menegaskan bentuk-bentuk diskriminasi yang dapat terjadi termasuk diantaranya diskriminasi usia di dalam UU Republik indonesia No. 39 Tahun 1999. Bukan itu saja, Indonesia sebagai anggota dari International Labour Organization turut serta dalam pengesahan konvensi International Labour Organization No. 111 yang mengulas tentang setiap tenaga kerja berhak mendapatkan persamaan dalam peluang kerja dan di tempat kerja.

Meski begitu, banyak pelamar yang masih mengalami ageisme atau diskriminasi usia saat mencari pekerjaan. Lowongan lamaran pekerjaan pun masih menuliskan batasan usia tertentu. Dan, tak jarang pekerja tua mengalami diskriminasi di tempat kerja, misalnya saja dilewatkan untuk tugas menantang atau promosi.

Hal tersebut terjadi karena rendahnya kesadaran masyarakat dan masih lemahnya penegakan aturan hukum di Indonesia. Terlebih, belum rincinya penjelasan aturan yang kemungkinan membuat aturan tersebut menjadi kabur.

Di Amerika Serikat, Undang-Undang Ketenagakerjaan (ADEA) tahun 1967 dibentuk untuk melindungi pekerja yang berusia 40 tahun ke atas dari diskriminasi di tempat kerja. UU tersebut merinci larangan bagi pengusaha membuat keputusan untuk mempekerjakan, memecat, atau mempromosikan karyawan berdasarkan usia. Tujuannya agar dapat meminimalisir efek kerusakan dari pengangguran jangka panjang pada pekerja yang lebih tua.

Di dalam ADEA itu secara khusus melarang penggunaan usia karyawan atau pelamar kerja sebagai faktor perekrutan, promosi, pemberhentian, kompensasi, atau syarat tertentu termasuk hak istimewa pekerjaan. UU itu mengurainkan larangan komprehensif terhadap praktik diskriminatif berdasarkan pada usia. Korban ageisme pun dapat menerima ganti rugi jika majikan sengaja melanggar hukum.

Bahkan, awal tahun lalu, untuk memperjelasnya melalui US Equal Employment Opportunity Commission (EEOC) melarang penyampaian preferensi di iklan lowongan kerja, seperti lulusan baru, muda, dan energik. Pembaruan tersebut memberikan transparansi jelas untuk mengidentifikasi dan menerapkan praktik diskriminatif sistemik.

Ada berbagai stereotip yang terkait dengan penuaan, contohnya antara lain orang yang lebih tua dianggap lebih malas, tidak ada yang bekerja dengannya, tidak dapat memperlajari keterampilan baru, dan lain sebagainya. Faktanya, menurut CEO BlueFire HR, Stephanies Nelson, pekerja di atas usia 65 tahun justru tergolong pekerja dengan pertumbuhan tercepat saar ini, dan jumlah mereka diprediksi akan meningkat sekitar 10 persen selama empat puluh tahun ke depan. Ageisme tidak hanya bermasalah, tetapi juga ilegal.

Seruan Melawan Ageisme

Pada bulan Maret 2021, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merilis laporan Global tentang Ageisme dan mengeluarkan ajakan bertindak untuk segala usia. Bekerja sama dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), laporan itu menjelaskan berbagai cara ageisme yang bermanifaste di segala spektrum usia. Mengutip WHO, Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus menggarisbawahi betapa berbahayanya ageisme secara sosial dan betapa pentingnya semua pihak untuk berpartisipasi untuk mencegahnya.