Scroll untuk baca artikel
Ekonomi

Kedelai Mahal Karena Babi Cina, Upaya Swasembada Hanya Mimpi?

Redaksi
×

Kedelai Mahal Karena Babi Cina, Upaya Swasembada Hanya Mimpi?

Sebarkan artikel ini

Indonesia sebagai negara pengkonsumsi kedelai terbesar setelah China, masih jauh dari swasembada. Ironi yang selalu terulang karena ketersediaan kedelai sepenuhnya masih bergantung pada impor.

BARISAN.CO – Harga kedelai melambung tinggi belakangan ini. Akibatnya, para pengrajin tahu dan tempe jengkel dan memutuskan untuk mogok produksi selama tiga hari ke depan.

Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menyebut, yang menjadi biang kerok masalah ini, kata Lutfi, adalah reformasi peternakan babi di China. Maksudnya, di negeri tirai bambu China saat ini ada lima miliar babi baru yang semuanya membutuhkan pakan kedelai.

“Di Cina itu, awalnya peternakan babi di sana tidak makan kedelai, tapi sekarang makan kedelai. Apalagi baru-baru ini ada lima miliar babi di peternakan Cina itu makan kedelai,” kata Mendag Muhammad Lutfi di sela kunjungan kerjanya di Makassar, seperti dikutip dari Antara Jumat (18/2/2022).

Tidak hanya karena pakan babi di China, Mendag juga menjelaskan penyebab lain yaitu cuaca buruk El Nina di kawasan Amerika Selatan. Hal ini membuat pasokan kedelai ke pasar global menurun, sehingga harganya jadi naik.

“Jadi permasalahan kedelai di Indonesia yang harganya belakangan ini naik karena adanya beberapa permasalahan. Termasuk terjadinya El Nina di Argentina,” imbuh Muhammad Lutfi.

Lutfi menerangkan saat ini pihaknya menyiapkan mitigasi dari melambungnya harga kedelai secara nasional.

“Sekarang ini kami sedang menyiapkan mitigasinya dan kesempatan pertama minggu depan akan kami umumkan kebijakannya seperti apa,” katanya.

Perajin Tahu Tempe Mogok

Kondisi kenaikan harga kedelai ini membuat para perajin tahu dan tempe menjerit karena sudah tak mampu lagi bertahan dan terancam gulung tikar.

Atas kenaikan tersebut, perajin tahu tempe yang tergabung dalam Payuban Dadi Rukun mogok produksi selama 3 hari.

Ketua Umum Paguyuban Dadi Rukun Rasjani mengatakan, selain mogok produksi, para perajin tempe di wilayah Depok dan sekitarnya juga akan menggelar aksi unjuk rasa dalam bentuk aksi teatrikal.

“Mogok produksi kami lakukan karena para perajin tahu dan tempe sudah tidak bisa jualan karena harga bahan baku naik tajam,” ujar Rasjani dalam siaran persnya, Senin (21/2/2022).

Swasembada Kedelai hanya Mimpi

Kelangkaan kedelai menjadi ironi yang masih saja terjadi di Indonesia. Sebagai negara pengkonsumsi kedelai terbesar setelah China, Indonesia masih jauh dari swasembada. Konsumsi kedelai sepenuhnya masih bergantung pada impor.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, impor kedelai Indonesia sepanjang semester-I 2020 mencapai 1,27 juta ton dengan nilai US$510,2 juta atau sekitar Rp7,52 triliun (kurs Rp 14.700). Sebanyak 1,14 juta ton diantaranya berasal dari Amerika Serikat.

Tak elak, saat harga kedelai impor meroket, Indonesia pun kelabakan. Dari yang semula hanya sekitar Rp 8.000 per kilogram, kini harganya mencapai Rp 11.240 per kilogram.

Ironi yang Berulang

Seperti sering terjadi sebelumnya, produksi kedelai dalam negeri yang begitu minim tak mampu membendung derasnya permintaan. Indonesia selalu menghadapi masalah berulang. Kedelai hasil tanam petani lokal tak mampu mengejar kebutuhan konsumsi masyarakat.

Berdasarkan outlook pangan yang Kementerian Perdagangan (Kemendag) lakukan 2015-2019, produksi kedelai Indonesia terus menurun, rata-rata 1,49% per tahun.

Hal ini berbanding terbalik dengan konsumsi kedelai yang terus naik. Saat ini, rata-rata konsumsi kedelai sebesar 6,59 kg/kapita/tahun dan cenderung meningkat dengan rata-rata 1,73% per tahun.

Situasinya saat ini, kebutuhan kedelai masyarakat tinggi sementara pasokan dalam negeri tidak mencukupi. Namun, kedelai impor yang jadi andalan stoknya terbatas dan mahal. Imbasnya, kelangkaan kedelai nasional makin kentara.

Alasan Petani Tak Tertarik Menanam Kedelai

Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), Henry Saragih, mengutip dari Alinea mengatakan kondisi saat ini merupakan imbas dari kebijakan pasar bebas sejak Indonesia menjadi anggota WTO tahun 1995 dan Letter of Intent (LOI) IMF dengan Pemerintahan Soeharto pada tahun 1998.

Awalnya, kata dia, produksi petani kedelai di tingkat lokal masih sanggup memenuhi 70% hingga 75% kebutuhan kedelai nasional, impor hanya sekitar 20%. Kondisi ini sekarang berbalik. Kedelai impor menjadi sumber utama kebutuhan kedelai nasional.

Upaya perlindungan pasar dalam negeri melalui implementasi UU Pangan No 18 Tahun 2021 hingga UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani No 19 Tahun 2013, tak mampu mengerem laju impor kedelai.

Terlebih, usai hadirnya UU 11/2020 tentang Cipta Kerja. Menurutnya, UU Cipta Kerja bisa menyebabkan impor makin leluasa. Pasalnya, larangan impor dijalankan bila kebutuhan dalam negeri mencukupi maupun prioritas penggunaan produk pangan domestik dihapus.

“Tidak hanya itu, dihapuskannya pasal 11 ayat (2) dan (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman juga membuat produk GMO lebih mudah beredar di Indonesia,” ujar Henry kepada dikutip Selasa (22/2/2022).