KEMARIN ketika Pemprov DKI Jakarta mengeluarkan infografis banjir besar dari tahun ke tahun, ada yang bertanya mengapa tahun yang diambil acak. Lalu ada yang mencurigai Pemprov DKI Jakarta sembunyikan data tahun 2016 dan 2017. Tuduhan yang aneh. Sebab sepanjang Pemerintahannya di Jakarta, Anies Baswedan selalu mengedepankan transparansi.
Data banjir DKI Jakarta dari tahun ke tahun itu ada. Transparansi dijunjung tinggi di Pemerintah Jakarta kini. Tak ada yang ditutupi. Sila cek data lengkapnya di portal Pantau Banjir Jakarta berikut ini.
Portal data Pantau Banjir Jakarta dibuat pada periode pemerintahan Anies. Diluncurkan pada bulan Desember 2020 lalu. Portal ini sangat keren. Sebagai upaya serius Pemprov DKI Jakarta mewujudkan sebuah kota yang terbuka dan transparan.
Melalui portal Pantau Banjir Jakarta, semua warga Jakarta—bahkan seluruh Indonesia—bisa memantau genangan real time. Kita akan tahu wilayah mana saja di Jakarta yang tergenang sampai tingkat RT.
Tahun ini Pemprov DKI JKT bisa memetakan genangan hingga level RT—karena punya sistem JAKARTA SATU yang bisa memetakan wilayah lebih detail—dengan begitu kita bisa tahu seberapa luas dampak banjir dengan lebih presisi.
Sebagai perbandingan, dari berita media, diketahui Bekasi memetakan dengan unit Kecamatan. Jika membaca ada 19 dari 23 Kecamatan di Bekasi tergenang Banjir, orang pasti ngeri membayangkannya. Padahal realitasnya mungkin tak seluruh dr 19 kecamatan itu tergenang.
Nah untuk Jakarta, estimasi wilayah terdampak banjir tahun ini—yaitu 4 km2—sudah jauh lebih presisi dibanding tahun-tahun sebelumnya karena menggunakan peta dasar JAKARTA SATU yang lebih detail.
Di situlah kehebatan JAKARTA SATU dalam membantu Pemprov DKI Jakarta mengambil kebijakan berdasarkan data obyektif. Dengan demikian JAKARTA SATU dan Pantau Banjir Jakarta sangat membantu kita dalam menghindari disinformasi.
Sama dengan Portal Pantau Banjir Jakarta, Sistem JAKARTA SATU juga dibuat di jaman Anies. Saya sampai ingat sekali tanggal peluncurannya—17 Januari 2018—karena kami TGUPP Bidang Hukum & Pencegahan Korupsi menjadi salah satu inisiatornya bersama dengan Bapenda dan Dinas Cipta Karya.
Kembali ke Pantau Banjir, jika teman-teman membuka portalnya maka akan terlihat data banjir dari tahun ke tahun. Mulai dari tahun 2014 hingga 2020. Tahun 2021 belum dimasukkan, nampaknya masih menunggu musim hujan selesai sehingga datanya sudah stabil.
Di Pantau Banjir Jakarta, semua data terpampang nyata. Jadi yang menuduh DKI Jakarta sembunyikan data itu sebenarnya absurd sangat.
Kalau yang dipermasalahkan infografis, sebenarnya yang dimaksudkan adalah infografis banjir-banjir besar dari tahun ke tahun. Itu kan awalnya adalah infografis untuk tahun lalu ketika hujan ekstrim mencapai 377 mm/hr.
Untuk infografis tahun ini, infografis tahun lalu itu kemudian ditambahkan data tahun ini. Simpel saja alasannya. Sebab tahun ini hujannya kan juga ekstrim mencapai curah hujan tertinggi 226 mm/hari. Tak ada niat menutupi karena publik juga akan selalu bisa melihat data aselinya di Pantau Banjir secara langsung dan bisa membandingkannya sendiri.
Di Jakarta pada setiap tahun ada 2 bulan musim hujan, data detailnya bisa dilihat di portal Pantau Banjir Jakarta. Data yang saya rekap di bawah ini hanya mengambil data tertinggi dari masing-masing tahun yaitu curah hujan tertinggi, RW terdampak tertinggi dan jumlah pengungsi terbanyak. Sengaja saya rekap agar kita bisa melihat perbandingan dampak banjir dari tahun ke tahun.
Melihat data kita bisa tahu ada perbaikan dalam penanggulangan banjir saat ini. Tahun 2020 lalu kita di Jakarta mengalami hujan paling ekstrim dengan curah hujan tertinggi 377 mm/hari. Namun demikian, dampak banjir paling parah justru terjadi di tahun 2014. Tahun di mana banjir menggenang hingga 20 hari baru surut, tahun lalu 4 hari sudah surut. Ada 615 RW tergenang, bandingkan tahun lalu yang hanya 581 RW. Jumlah pengungsi mencapai 122.417 orang, tahun lalu hanya 3.311 orang. Padahal tahun 2014 itu curah hujan tertinggi hanya mencapai 284 mm/hari.