Scroll untuk baca artikel
Lingkungan

Banjir Semarang, Potret Bencana Ekologis dan Tata Ruang Kota

Redaksi
×

Banjir Semarang, Potret Bencana Ekologis dan Tata Ruang Kota

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Kota Semarang diterjang banjir, beberapa kawasan tergenang seperti Kecamatan Tugu, Mangkang, Gayamsari, Kaligawe, Semarang Utara. Banjir terparah terjadi di Kecamatan Genuk, genangan air mencapai 1,5 meter atau sedada orang dewasa.

Walikota Semarang Hendrar Prihadi berstatment bahwa banjir di Kota Semarang disebabkan oleh cuaca ekstrim dan merupakan siklus 50 tahunan. Bahkan menurut Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono saat turun lapangan meninjau banjir di kawasan Kota Lama Semarang, siklus hujan lebat hari ini terjadi 50 tahunan.

Statement ini ditanggapi Direktur Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jawa Tengah Fahmi Bastian, pemerintah Kota Semarang tidak serius dalam menyelesaikan banjir dan tidak melihat permasalahan banjir ini dari akar masalahnya, Rabu (10/02/2021)

“Permasalahan banjir yang terjadi di Semarang bukan semata-mata terjadi karena cuaca ekstrim saja, melainkan juga kebijakan pola tata ruang dan perubahan iklim,” lanjutnya

Fahmi menyampaikan, bahwa kebijakan pola tata ruang berpengaruh besar terhadap kerusakan dari hulu hingga hilir Kota Semarang. Misalkan saja di hulu, akibat perubahan RIK 1975-2000, menyebabkan berkurangnya fungsi-fungsi hidrologis lingkungan hulu sebagai daerah penyanggah Kota Semarang.

Persoalan pola ruang juga terjadi di pusat kota, dimana kemampuan kota dalam menyerap air semakin hari semakin berkurang karena daya tampung saluran-saluran drainse di dalam kota terlampaui yang diakibatkan oleh berbagai permasalahan seperti saluran air tersumbat, berukuran kecil hingga banyaknya lumpu (comberan) di saluran air tersebut menyebabkan kota tidak dapat menampung air saat terjadi hujan.

“Persoalan hilir Kota Semarang tidak lebih baik dari hulu dan pusat kota, bahkan dapat dibilang lebih parah akibat alih fungsi pesisir menjadi kawasan industry, pariwisana (reklamasi pantai marina) dan transportasi (reklamasi bandara baru Ahmad Yani dan perluasan kawasan Tanjung Mas) yang bepengaruh terhadap penurunan muka tanah sehingga menyebabkan rob,” ucap Fami

Fahmi menambahkan, akibatnya terjadi penumpukan bencana ekologis berupa kombinasi antara banjir kiriman dari hulu dan banjir akibat pasang air laut (rob) dan inilah yang menurut Walhi Jateng sebagai pengaruh besar banjir yang terjadi di 45 titik dan longsor yang terjadi di 33 titik di Kota Semarang yang memakan 4 korban jiwa dan memaksa 972 harus mengungsi.

“Selain menyebabkan banjir dan tanah longsor, perubahan tata ruang juga berpengaruh terhadap pemanasan global dan perubahan iklim, karena banyaknya alih fungsi lahan dari kawasan agraria/hutan menjadi kawasan pemukiman, industri, kampus dan sebagainya menyebabkan berkurangnya fungsi hutan dalam menstabilkan iklim dan pemanasan global,” imbuhnya.

Fahmi meminta, dalam membuat RTRW pemerintah kota wajib melaksanakan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dalam penyusunan rencana tata ruangnya sesuai yang diamatkan dalam undang-undang no 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) pasal 15. Kedepan, perlu adanya mitigasi bencana secara serius agar banjir tidak menjadi bencana tahunan di Kota Semarang.

Sementara itu, Sosiolog MH Rahmat mengatakan, banjir bukan soal tata ruang kota semata sebab banjir juga terjadi di pelosok-pelosok desa yang masih jarang penduduk.

“Banjir di desa disebabkan kerusakan lingkungan seperti tanggul sungai yangg jebol. Kerusakan lingkungan desa pinggiran kota sebagian juga dampak dari keserakahan seperti reklamasi pantai di kota,” tuturnya.