PERDEBATAN diksi selalu menarik perhatian publik. Karena memang diksi tidak sekadar pilihan kata lantaran dalam bahasa ada rasa dan ada makna. Bahkan dalam undang-undang kata memiliki konsekuensi hukum tersendiri.
Fenomena yang menarik terkait penyebutan banjir dan genangan air dalam kasus di Semarang, Jawa Tengah. Publik menyebutnya banjir sementara Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan pendukung fanatiknya menyebut ketinggian air yang merendam Kota Semarang dan sekitarnya sebagai genangan.
Dua istilah ini menjadi perdebatan yang seru di kalangan netizen. Belum lagi ketika masyarakat tengah fokus ke banjir Semarang, musisi yang juga pendukung fanatik Jokowi dan Ganjar, Adhie MS malah mencuit soal lubang resapan di Jakarta yang dibangun Anies Baswedan.
Bukan hanya lantaran Anies sudah tidak jadi pejabat publik dan tidak ada relevansinya dengan sumur resapan yang menjadi salah satu gagasan, narasi dan aksinya itu, tetapi tautan gambar truk yang terperosok di lubang resapan juga disebut netizen sebagai hoaks.
Sumpah serapah yang sangat tidak layak diucapkan pun terus membanjiri akun Adhie MS — yang memang seperti lupa berkarya atau memang sepi job — tetapi lebih banyak posting cuitan di medsos.
Dalam kamus bahasa Indonesia Kemendikbud banjir disebutkan sebagai air yang mengalir deras dan meluap. Sementara genangan didefinisikan sebagai tempat atau daerah yang berair.
Skala genangan lebih kecil. Misalnya genangan air di jalan tol atau di sekitar kompleks perumahan. Sebaliknya banjir skalanya masif, luas, deras, meluap dan sudah mengganggu aktivitas publik.
Seperti dalam peristiwa di Semarang jalan raya sudah tidak bisa dilewati, kereta api jalur utara dialihkan ke jalur selatan. Artinya sudah merugikan secara ekonomi.
Banjir di Jakarta dan Semarang memang fenomena alam yang sudah meresahkan sejak zaman kolonial. Berbagai ikhtiar tetap dilakukan dan sampai sekarang hanya bisa mengendalikannya tidak mungkin mencegah banjir.
Karena itu kembalilah baca sejarah dan literatur. Adhie MS dan kelompoknya seharusnya mencerdaskan publik bukan justru memanipulasi istilah dan menyebar hoaks sehingga masyarakat tidak saling menihilkan dan menyalahkan.
Hentikan menyalahkan Anies dan juga Ganjar. Setiap gubernur dan pejabat publik memiliki kebijakannya masing-masing. Kalau salah atau keliru kritisi jangan menyalahkan. Justru yang harus disalahkan itu gubernur atau penjabat yang miskin ide tetapi menganulir kebijakan yang sudah baik dan bermanfaat.
Dalam perdebatan naturalisasi dan normalisasi dalam kasus sungai di Jakarta, misalnya, Anies memilih naturalisasi dibandingkan normalisasi yang diusung Jokowi dan Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok saat jadi gubernur.
Jokowi dan Ahok tidak salah. Normalisasi memang menyebabkan sungai menjadi lebar dan dapat menampung air lebih banyak.
Tetapi kekurangannya juga air menjadi lebih cepat sampai ke Teluk Jakarta dan bila laut sedang pasang justru malah akan menyebabkan banjir.
Selain itu, proyek infrastuktur selain banyak menggusur lahan, juga banyak menghabiskan uang banyak. Termasuk dengan membangun bendungan pengendali banjir.
Dalam skala penyerapan anggaran tentu positif. Tetapi dana untuk infrastruktur sebenarnya bisa dialihkan untuk kepentingan lain seperti kesehatan, pendidikan dan air bersih.
Sementara Anies lebih memilih normalisasi. Selain penghematan anggaran, juga air tidak cepat sampai ke laut. Air berkelok mengikuti alur sungai. Anies lebih memilih air diserap bumi tidak langsung mengalir ke sungai karena itu dibangun secara masif sumur resapan di semua wilayah Jakarta.