Jokowi dan Ahok tidak salah. Normalisasi memang menyebabkan sungai menjadi lebar dan dapat menampung air lebih banyak.
Tetapi kekurangannya juga air menjadi lebih cepat sampai ke Teluk Jakarta dan bila laut sedang pasang justru malah akan menyebabkan banjir.
Selain itu, proyek infrastuktur selain banyak menggusur lahan, juga banyak menghabiskan uang banyak. Termasuk dengan membangun bendungan pengendali banjir.
Dalam skala penyerapan anggaran tentu positif. Tetapi dana untuk infrastruktur sebenarnya bisa dialihkan untuk kepentingan lain seperti kesehatan, pendidikan dan air bersih.
Sementara Anies lebih memilih normalisasi. Selain penghematan anggaran, juga air tidak cepat sampai ke laut. Air berkelok mengikuti alur sungai. Anies lebih memilih air diserap bumi tidak langsung mengalir ke sungai karena itu dibangun secara masif sumur resapan di semua wilayah Jakarta.
Apalagi isu Jakarta yang diprediksi bakal tenggelam pada 2030, upaya Anies itu sebagai ikhtiar. Penurunan permukaan tanah yang setiap tahun mencapai 1-15 sentimeter bahkan di beberapa wilayah ada yang sampai 20-28 sentimeter, menjadi salah satu solusi menghindari bencana jangka panjang.
Repotnya, kesadaran publik dan juga elite pemerintah soal lingkungan ini sangat rendah. Apalagi kalau pejabatnya sangat doyan pencitraan. Proyek harus kelihatan hasilnya dalam periode lima tahun malah kalau bisa dalam dua tahun.
Sementara cara Anies mungkin baru akan dirasakan 20 atau 30 tahun.
Pemimpin dan rakyat kita banyak yang tidak sabar lantaran minim gagasan, narasi dan aksi.
Ya, begitulah. [rif]