DPR telah mengesahkan Rancangan Undang-Undangan Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi Undang-Undang (UU) dalam rapat paripurna beberapa bulan yang lalu. Namun, mengimplementasikannya pada kehidupan nyata menjadi sebuah perjuangan.
Aturan tersebut dibuat dengan tujuan memberikan keadilan bagi para korban kekerasan seksual, tapi yang kita lihat justru sebaliknya. Masih ada beberapa kasus kekerasan seksual yang terjadi sepanjang triwulan III 2022 terpaksa berujung “damai”.
Contohnya, di Kabupaten Tuban, Jawa Timur pada bulan Juli 2022, seorang pelajar perempuan melahirkan seorang bayi usai diperkosa anak kiai setempat. Berdasarkan keterangan, korban yang masih duduk di bangku SMP itu akan segera dinikahkan dengan lelaki yang memperkosanya.
Tidak hanya itu, kasus serupa juga dialami oleh SA (18) perempuan asal Banyuwangi yang hamil akibat diperkosa tiga orang pria pada Desember 2021. Nahasnya, para pelaku sengaja membuat korban mabuk terlebih dahulu sebelum melakukan aksi bejatnya. Pada Maret 2022, ia malah dinikahkan dengan salah seorang pelaku yang berinisial S (28).
Daripada melindungi anaknya, keluarga menganggapnya sebagai aib, lantas pernikahanlah yang menjadi solusi agar aib itu tidak menyebar. Namun nahas, pada Juli lalu, ketika SA melahirkan anaknya, S justru kabur dari tanggung jawab. SA lalu melaporkan kasus tersebut ke Polresta Banyuwangi. Namun, pasal yang dijatuhkan pada S bukan terkait kekerasan seksual dan pemerkosaan, melainkan penelantaran ibu dan anak.
Kekerasan seksual pada anak justru lebih berat hukumannya dibanding pada orang dewasa. Pemerkosaan pada perempuan dewasa diganjar maksimal 12 tahun penjara (KUHP Pasal 285), sedangkan pemerkosa maupun pencabul anak dipidana maksimal 15 tahun penjara (Perppu 1/2016 Pasal 81). Bahkan pidana 15 tahun penjara itu masih bisa ditambah sepertiga jika pelakunya adalah keluarga, tenaga pendidik, dan pihak lainnya yang seharusnya melindungi anak.
Seharusnya, begitu UU TPKS lahir, pidana untuk kekerasan seksual pada anak makin ditajamkan. Dari contoh kasus di atas memperlihatkan bagaimana penegak hukum, keluarga, dan pejabat pemangku kepentingan gagal melindungi korban kekerasan seksual dan pemerkosaan.
Kebanyakan dari para pelaku memiliki kedudukan atau kekuatan tertentu untuk menekan korban agar mau berdamai, bahkan berakhir dengan ‘dinikahkan’. Masalah ini diperparah dengan penegak hukum yang belum punya perspektif gender sehingga turut merekomendasikan solusi damai. Solusi ‘damai’ dengan pernikahan justru akan membuat korban semakin terpojok dan trauma.
Penyebab kasus kekerasan seksual tidak bisa ditangani dengan baik lantaran kasus seperti ini tidak cukup bukti atau saksi. Selain itu, aparat penegak hukum yang tidak dapat melanjutkan kasus tersebut karena keterbatasan payung hukum.
Mirisnya, para korban kekerasan seksual seringkali mendapat tekanan dari lingkungan terdekatnya. Kasus ini diibaratkan seperti fenomena gunung es, beberapa orang di luar sana banyak yang tidak berani mengungkap kasusnya atau lebih baik diam.
Meskipun dinilai masih belum sempurna, UU TPKS dianggap memiliki beberapa capaian karena berpihak kepada korban. Undang-undang tersebut mengizinkan lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat ikut berperan dalam proses pendampingan dan perlindungan korban kekerasan seksual. [rif]