BARISAN.CO – Berasa “klik”. Betapa tidak. Tahun 2005, persisnya 10 Juli 2005, saya melamar Rahma, dan menghadiahinya buku Al-Hikam: Rampai Hikmah Syekh Ibn ‘Atha’illah, penerbit Serambi, Jakarta. Terus terang, waktu itu saya tidak begitu paham buku tersebut, termasuk siapa Syekh Ibn ‘Atha’illah. Hanya, manakala baca beberapa untaian kalimat sang syekh, yang belakangan baru saya ketahui sebagai guru sufi ketiga tarekat Syadziliyyah, teramat memikat. Untaian pendek tapi dalam, dan menyentuh rasa, mengetuk jiwa.
Singkatnya, saya dan istri berminat banget dengan kalimat-kalimat ringkas Syekh yang lahir di Alexandria, Mesir, pada pertengahan abad ke-13 itu. Apalagi banyak kalangan menyebut, al-Hikam merupakan kitab kelas berat, sehingga makin tambah rasa penasaran kami. Makin dan terus membuncah keinginan menyuntukinya. Walau memang, saya tak kunjung paham, dan akhirnya putus asa untuk meneruskan bacaan.
Rahma, istri saya, sampai berharap-harap ada komunitas atau halaqah pengajian khusus al-Hikam, sehingga bisa bergabung, tapi belum juga ketemu. Ada, memang, suatu ketika, sekitar tahun 2007-an, (almarhum) Prof. Amin Syukur, guru besar UIN Walisongo, mengunggah pengumuman kajian hikam yang diampunya. Namun, waktu belum bersahabat di pundak kami.
Hingga kemudian, awal tahun 2019, Gus Ulil Abshar Abdalla melahirkan karya Menjadi Manusia Rohani, sebuah upaya syarah al-Hikam, upaya mengakrabkan kedalaman pencapaian spiritual Ibn ‘Atha’illah kepada publik. Saya dan istri antusias menikmati anak rohani Gus Ulil tersebut. Hanya sayang, sang gus tidak tuntas mensyarahi matan al-Hikam, hanya 50 bait hikmah dari 263 hikmah. Namun, sekali lagi saya menikmati dan sangat terbantu untuk memasuki lorong sunyi tasawuf Ibn ‘Atha’illah.
Nah, saya katakan “klik”, di tengah perjalanan bahtera 16 tahun, yakni pada 28 Juli 2021 saya diajak seorang karib, Gunawan Budi Susanto, mendatangi halaqah di ujung utara Kota Semarang, yang ternyata sebuah zawiyah ngaji hikam. Sungguh, anugerah kesempatan tiada tara dalam hidup kami.
Ya, mimpi kami pun terkabul. Akhirnya, Tuhan menggiring kami untuk merapat dalam lingkaran suluk al-Hikam yang diasuh Gus Sholahuddin Shodaqoh. Meski, saya menapakinya tidak dari awal. Saya menyimak uraian syarah al-Hikam, hari itu pembacaan sudah masuk pada hikmah 97 hingga 101, tetapi mending, ketimbang tidak sama sekali.
Rabu berikutnya, 4 Agustus 2021, bersama istri, saya meluncur ke rumah Kang Putu, sapaan akrab Gunawan Budi Susanto, untuk berbarengan ke suluk al-Hikam. Lagi-lagi anugerah serasa beruntun mengucur. Seusai menyimak uraian hikmah 102 hingga 104, seorang teman sesama salik, yang baru saya kenal, Abdul Karim, menghadiahi kami Kitab Syarah Al-Hikam, berhuruf Arab gundul. Seolah amanat buat saya agar serius menyelami untaian hikmah maha dahsyat Syekh Ibn ‘Atha’illah As-Sakandari.
Jelas sudah, ke mana saya harus berlabuh. Setelah sekian tahun saya bertandang dari majelis ke majelis. Dari komunitas ke komunitas. Padahal usia terus merambat surut. Maka, tak bisa tidak, saya mesti berhenti pada titian yang lebih menjanjikan bekal masa depan, bekal menghadap-Nya. Saya tidak bisa terus-terusan menjadi pribadi yang kabur kanginan, tidak jelas titik pijak.
Mengutip ungkapan Syekh Ibn ‘Atha’illah, sudah saatnya kita berhenti dari mengatur segala urusan yang sudah jadi ketetapan Tuhan. Tugas kita cukuplah khusyuk selaku hamba, yakni mempertinggi kesadaran serta pengetahuan tentang kehendak-Nya. Sehingga, tepatlah sikap dan lantunan doa kita kepada-Nya.