Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Belajar Kesetaraan dari Sarmono

Redaksi
×

Belajar Kesetaraan dari Sarmono

Sebarkan artikel ini

NAMANYA Sarmono, salah satu sahabat terbaikku sejak kecil di kampung. Di antara teman sebaya kami di kampung, boleh dibilang beliau lebih survive dibanding yang lain. Kreativitas ekonominya di atas rata-rata. Padahal indra penglihatannya sudah tak berfungsi sejak usia dini.

Sahabat yang satu ini pantang menjadikannya kebutaan matanya sebagai alasan untuk menutup hatinya, malah ia terbilang optimis menatap masa depan. Jiwa kewirausahaannya menjadikan dia selalu kreatif menciptakan sumber-sumber pendapatan.

Mengetahui semua orang pakai HP, maka dia sulap teras rumahnya menjadi counter pulsa. Ya, pulsa HP! Bisa Anda bayangkan cara memasukkan kode 14 angka pulsa ke HP pembeli? Padahal matanya buta dan ia tak bisa melihat angka-angka, tetapi jari-jarinya hafal posisi tuts-tuts huruf pada keyboard HP. Sebelum tren HP qwerty, ia bahkan hafal berapa kali tekan tuts agar keluar sebuah angka yang dimaksud.

Tentu pulsa bukan satu-satunya jualan di counter-nya, ia juga berjualan aksesoris HP-nya, bulp lampu listrik, dan sebagainya. Intinya dia responsif terhadap perkembangan dan kebutuhan konsumen sehingga komoditas jualannya mengikuti kebutuhan pasar. Bukankah itu kunci sukses dalam dagang?

Saya masih ingat, dahulu sebelum era HP, kami anak-anak muda di kampung menggemari sekali radio intercom sebagai alat komunikasi yang menghubungkan rumah ke rumah. Remaja-remaja dahulu biasanya suka nongkrong “virtual” melalui alat tersebut. Kami pun menyebutnya radio brik, serapan dari kata “break” dalam bahasa Inggris, sebab jalur gelombangnya hanya satu dan digunakan oleh banyak orang, sehingga untuk berbicara harus menyebut “brik-brik” terlebih dahulu agar tidak overlap dengan yang lainnya.

Berbeda dengan komunikasi via HP yang bisa berbicara sekaligus mendengar, di interkom saat berbicara kami tidak bisa mendengar dan saat mendengar kami tidak bicara. Untuk bicara atau mendengar harus tekan tombol “brik”-nya terlebih dulu.

Dan tahu, siapa yang merakit intercom-intercom tersebut? Ya, Sarmono. Dalam kondisi kebutaan, dia bisa memasang komponen-komponen elektronika, menyambungkan konektor-konektornya dan menyoldernya dengan timah. Di luar nalar memang, tapi itu benar-benar dilakukan oleh Sarmono.

Soal keterampilan merakit dan membuat barang elektronik, bahkan ia sudah masyhur sekecamatan, hingga banyak orang dari desa lain memesan perangkat pesawat intercom kepadanya. Bahkan bukan hanya intercom, saat marak stasiun radio komunitas, Sarmono mendapat pesanan membuat perangkat pemancar radio FM dari berbagai komunitas. Rumahnya, waktu itu, tak lain juga menjadi stasiun radio FM partikelir yang pendengarnya bisa mencapai radius 5 km. Tentu saja, dari pesanan-pesanan itu artinya ada cuan masuk ke kantongnya.

Pertanyaannya, dalam kondisi disabilitas fungsi penglihatannya, apa yang membuat dia bisa memiliki kemampuan dan bahkan melampaui teman-teman sebayanya? Jawabannya barangkali, karena dia memiliki kepercayaan diri yang setara, bahkan terkadang lebih, dengan sesama teman lainnya. Kepercayaan diri itulah yang membuatnya selalu positif dan optimis menatap masa depan.

Lalu, kira-kira apa yang membuatnya demikian, padahal orang tua maupun dirinya tak pernah mendapatkan pendidikan di sekolah? Saya pun merenung dan menyimpulkan, semua itu terbentuk sejak dalam pergaulan dan lingkungannya sejak kecil. Saya masih ingat, kala kecil memang kami teman-teman sepermainannya, tak pernah memperlakukannya berbeda.

Meskipun ia buta, kami tak memperlakukannya secara khusus sebagai orang buta. Alih-alih mengolok, mengasihani pun tidak pernah. Kami memperlakukannya secara setara. Kami ajak main ke sawah, memancing, bersepeda, bermain petak umpat dan sebagainya. Sore hari saat menonton film seri Saur Sepuh di TVRI pun ia kami ajak. Tak bisa menonton, tetapi dia bisa mengikuti ceritanya dengan mendengarkan, hingga kami bisa saling tukar cerita mengenai tokoh-tokoh dalam film tersebut. Saat remaja, kami menonton pertunjukan dangdut di kampung sebelah, ia pun selalu kami ajak. Kadang jalan kaki, kadang kami bonceng naik sepeda.