Scroll untuk baca artikel
Analisis Awalil Rizky

Belanja APBN 2021 yang Keliru Arah

Redaksi
×

Belanja APBN 2021 yang Keliru Arah

Sebarkan artikel ini

Secara umum, Pemerintah beralasan kenaikan belanja sebagai bagian dari mitigasi dampak pandemi, serta untuk pemulihan ekonomi. Namun anggaran untuk hal dimaksud justru berkurang dibanding tahun 2020 yang sebesar Rp695,2 triliun menjadi sebesar Rp372,1 triliun.

Dalam anggaran tadi, alokasi untuk perlindungan sosial diturunkan dari Rp203,9 triliun menjadi Rp110,2 triliun. Alokasi untuk UMKM turun, dari Rp123,46 triliun menjadi Rp48,8 triliun. Tampak ada asumsi, pandemi sudah usai dan pemulihan ekonomi tahun 2020 telah memberi hasil memadai. 

Sebagai informasi tambahan, anggaran mitigasi pandemi dan pemulihan ekonomi nasional tadi tak hanya berupa belanja, melainkan termasuk pembiayaan. Pembiayaan artinya bersifat investasi, pemberian pinjaman, serta skema lainnya yang menimbulkan hak di kemudian hari.

Sedangkan dalam hal alokasi dan kebijakan anggaran belanja pemerintah pusat dijelaskan sebagai untuk menjadi momentum transisi menuju adaptasi kebiasaan baru secara bertahap, menyelesaikan permasalahan di sektor kesehatan, ekonomi, dan sosial yang dihadapi Indonesia pasca pandemi Covid-19, serta penguatan reformasi untuk keluar dari middle income trap.

Secara lebih khusus, belanja K/L dijelaskan untuk mendukung upaya pemulihan sosial-ekonomi dan penguatan reformasi meliputi dukungan terciptanya SDM Aparatur yang berintegritas dan berkinerja tinggi; penguatan bantuan sosial; dukungan belanja modal untuk digitalisasi dan pemulihan ekonomi; dan penajaman belanja barang dan melanjutkan efisiensi.

Adapun Anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) dikaitkan dengan kebijakan masa pandemi. Antara lain: mendukung upaya pemulihan ekonomi sejalan dengan program prioritas nasional; mensinergikan TKDD dan Belanja K/L dalam pembangunan human capital (sektor pendidikan dan kesehatan); mendorong belanja infrastruktur daerah melalui creative financing untuk mendukung pencapaian target RPJMN; redesain pengelolaan TKDD dengan mengedepankan penganggaran dan pelaksanaan berbasis kinerja dan peningkatan akuntabilitas; dan meningkatkan kinerja TKDD dan melakukan reformasi APBD.

Dari pencermatan atas Nota Keuangan dan postur APBN, yang sebagiannya disampaikan di atas, ada beberapa hal pokok yang dapat disimpulkan. Pertama, penajaman belanja yang kerap dikemukakan hanya dilakukan secara biasa. Sedikit penghematan di sana sini, tanpa perubahan yang mendasar.

Kedua, pola umum Belanja K/L kembali seperti biasanya. Berbagai program sebelumnya yang butuh biaya besar kembali akan dilaksanakan. Sebagian memperoleh tambahan narasi baru, seperti padat karya dan mendorong pemulihan ekonomi. Secara teknis, masih serupa dengan program sebelum pandemi. Bahkan, narasi untuk kenaikan K/L terkait Lembaga Hankam dan Penegak Hukum dijelaskan sebagai untuk peningkatan stabilitas nasional dalam pelaksanaan pembangunan dan pemulihan ekonomi.

Ketiga, porsi TKDD mengalami penurunan, sementara daerah diminta berpartisipasi lebih besar dalam program pemulihan ekonomi. Dan jika dilihat dari sisi tertentu, keleluasaan daerah dalam mengalokasikan anggaran menjadi makin sempit. Bahkan, sebagian cukup besar dari dana desa pun diarahkan serupa.  

Keempat, penurunan alokasi anggaran untuk mitigasi pandemi dan pemulihan ekonomi berasumsi segalanya telah membaik pada tahun 2021. Alokasi tersebut tidak hanya “ditanggung” oleh Belanja Pemeritah Pusat. Melainkan juga oleh TKDD dan pos Pembiayaan. Sementara, belanja K/L cenderung kembali seperti biasanya.

Kelima, target pendapatan telah ditetapkan secara lebih realistis, namun alokasi belanja tak disusun mengkutinya. Defisit menjadi makin membengkak, yang diikuti kebutuhan pembiayaan utang lebih banyak. Artinya, bukan soal apa alternatif selain menambah utang, melainkan mengapa mesti menambah utang hingga sebesar itu.