Dengan asumsi kurs Rp17.000, tambahan utang karena pelemahan rupiah akan mencapai Rp403,42 triliun. Sedangkan tambahan utang jika realisasi APBN sesuai perpres, sebesar Rp1.006,4 triliun. Maka total tambahan utang sebesar Rp1.409,82 triliun. Posisi utang per akhir 2020 menjadi Rp6.189,1 triliun.
Prakiraan rasionya atas Produk Domestik Bruto (PDB) bergantung pakai asumsi prakiraan atau skenario yang mana. Pada paparan Kemenkeu tanggal 1 dan 6 April disebutkan bahwa outlook defisit APBN 2020 sebesar Rp852,9 triliun sebagai 5,07% dari PDB. Artinya, PDB nominal diasumsikan sebesar Rp16.822 triliun.
Tetapi APBN KITA edisi April kemaren telah mengatakan bahwa posisi utang akhir Maret 2020 sebesar Rp5.192,56 triliun sebagai 32,12% dari PDB. Artinya, PDB 2020 diasumsikan hanya sebesar Rp16.166 T.
Dengan demikian, rasio utang dengan asumsi kurs Rp17.000 pada akhir tahun 2020 akan mencapai 38,24%. Diperoleh dari posisi utang (Rp6.189,1 triliun) dan PDB (Rp16.166 triliun).
Penulis berpandangan bahwa utang memang sedang diperlukan untuk membiayai mitigasi covid-19, termasuk dampak ekonominya. Akan tetapi harus dilakukan perhitungkan yang sangat cermat. Penjelasan yang lebih lugas dan lebih terbuka disampaikan kepada publik. Dan otoritas ekonomi mesti lebih terbuka atas berbagai kritik dan masukan.
Dalam hal ekonomi, bahaya yang paling mengancam adalah ketidaksiapan otoritas ekonomi. Salah satu soalannya, karena terbiasa menyampaikan klaim. Hanya suka mengumumkan berita baik yang dilebihkan. Kurang pintar mengakui dan menyampaikan berita buruk agar semua pihak diajak mengerti dan kemudian berpartipasi. Pemerintah kurang terbiasa dengan kolaborasi.
Masa depan negeri ini harus kita tentukan bersama. Apalagi menyangkut nasib anak negeri lintas generasi. Saatnya mengingat amanat konstitusi, “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan.”